Pemerintah dan DPR RI saat ini sedang melakukan pembaruan hukum acara pidana, yang mana saat ini Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sedang dibahas di DPR RI. Pembahasan RKUHAP di DPR RI, yang paling alot salah satunya mengenai keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Institusi Polri yang paling “ngotot” menolak keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dan tetap mempertahankan lembaga pra peradilan. padahal lembaga praperadilan, sudah tidak efektif untuk menjawab akuntabilitas dan transparansi kewenangan upaya paksa yang dimiliki oleh Polri, karena banyak terjadi penyalagunaan kewenangan tersebut.
Seperti yang terjadi Dalam Kasus yang dialami oleh DY, seorang anak yang berusia 11 tahun, yang dituduh melakukan tindak pidana pencurian, divonis penjara selama dua bulan 6 hari oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Pematang Siantar pada tanggal 5 Juni 2013.
DY, pada tingkat penyidikan, kepolisian melakukan penahanan terhadap DY, dan Kejaksaan juga tetap bersikukuh untuk menahan DY dengan alasan penyidik Kepolisian menahan DY sebelumnnya, begitu juga hakim, menahan serta memberikan vonis penjara selama dua bulan 6 hari.
Dalam kasus DY yang terjadi di Pematang Siantar Sumatera Utara, semua aparat penegak hukum melakukan kesalahan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim, semuanya harus bertanggungjawab.
Semestinya kasus DY tidak boleh diteruskan sampai kepersidangan, harus dikembalikan kepada orang tua atau dibina Kemensos. Hal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 tertanggal 2 Februari 2011, bahwa batas umur anak yang berhadapan dengan hukum, yang dapat diajukan kepersidangan sekurang-kurangnya 12 tahun. Akibat tindakan aparat penegak hukum tersebut, DY tidak diterima keluarganya.
Kasus DY, adalah pengulangan kesalahan penegakan hukum, di tahun 2012 hal yang sama juga terjadi, dimana seorang anak dengan Inisial AAL hanya mencuri sendal jepit, langsung ditangkap dan ditahan dan diajukan kepersidangan, yang mana kasus seperti ini juga tidak layak untuk diajukan kepersidangan.
Oleh karena itu, kami dari Koalisi untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KUHAP), meminta dan mendesak sbb;
- Meminta dan mendesak kepada DPR RI, dalam substansi RKUHAP, segala upaya paksa yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam penyidikan, penangkapan dan penahanan harus melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
- Meminta dan mendesak kepada DPR untuk mempertahankan dan memperkuat kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk melakukan cross examination (uji silang) atas bukti permulaan yang cukup yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam penetapan seorang tersangka, penangkapan, penahanan serta untuk menguji layak atau tidaknya suatu perkara diajukan dalam persidangan.
- Mengecam tindakan para aparat penegak hukum, yang menegakkan hukum dengan melanggar hukum dengan korban DY, dan para aparat penegak hukum tersebut harus diberikan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
- Meminta dan mendesak kepada aparat penegak hukum segera melakukan pemulihan kepada DY sampai kembali kepada keadaan semula.
Jakarta, 7 Juni 2013
Hormat kami
KuHAP.
Kontak;
Resta; 08569563084, Maruli 081369350396 (LBH Jakarta), Anggara 089636020020 (ICJR) Miko 085722447687 (PSHK).
[message_box title=”Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP)“color=”blue”]
Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP)
LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Mawar Saron, LBH Pers, LBH APIK Jakarta, LBH Semarang, HRWG, ILRC, Arus Pelangi, Huma, MAPPI, LeiP, Imparsial, PSHK, PBH Peradi, ICJR, Imparsial, CDS, ELSAM, dan PBHI,
Sekretariat: Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta Pusat 10320
Telp: (021) 3145518, Fax : (021) 3912377
[/message_box]