Jakarta, bantuanhukum.or.id—Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (Untag Jakarta) mengadukan Rektor Untag ke Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) (15/02). Bersama LBH Jakarta para mahasiswa tersebut mengadukan sikap Rektor Untag yang tak urung melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 307/K/TUN/2015 tanggal 10 Agustus 2015.
Pasalnya, Putusan MA tersebut mengharuskan Rektor Untag untuk mencabut Surat Keputusan Drop Out (DO) dan Skorsing terhadap 8 Mahasiswanya. Mahasiswa yang terimbas surat keputusan DO tersebut berasal dari Ilmu Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Mereka adalah Zainudin Alomon, Mamat Suryadi, Ade Arqam Hidayat, Arnold Dedy Salam Mau, Patrisius Berek, Muhammad Sani, Alfi Wibowo, dan Muhammad Rahmansyah. Mereka di DO akibat melakukan aksi damai di depan pintu gerbang kampus pada 18-20 Desember 2013.
Aksi tersebut dilakukan lantaran mereka menentang pembubaran seluruh organisasi kemahasiswaan oleh Yayasan yang didukung oleh Rektor Untag Jakarta. Organisasi yang dibubarkan ini adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Pecinta Alam UNTAG ’45 Jakarta (PATAGA), dan Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang seni dan teater.
Lebih lanjut, aksi tersebut juga dilakukan guna merespon adanya ‘pungutan’ atas ujian susulan sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), dan sebesar Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) bagi siswa yang terlambat membayar uang kuliah. Hal ini jelas sangat memberatkan mahasiswa yang rata-rata berasal dari ekonomi menengah kebawah.
Meskipun putusan Mahkamah Agung ini telah berkekuatan hukum tetap, namun Rektor Untag Jakarta tidak segera melaksanakan perintah pengadilan. Atas hal ini, Zainudin Alomon,dkk. melalui LBH Jakarta telah mengirimkan undangan sebanyak 3 (tiga) kali kepada Rektor Untag Jakarta untuk membahas pelaksanaan putusan Mahkamah Agung tersebut, masing-masing pada 21 Desember 2015, 5 Januari 2016, dan 13 Januari 2016. Sayangnya, ketiga surat tersebut tidak pernah ditanggapi oleh Rektor Untag Jakarta. Surat dari LBH Jakarta justru dibalas oleh Kuasa Hukum Rektor yang menyatakan bahwa pihak Rektor akan melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung tersebut.
“Kami hidup terlunta-lunta. Karena kuliah terhenti, hubungan dengan orang tua kami menjadi memburuk. Kami tidak dikirimi uang lagi. Untuk bertahan hidup, kami terpaksa bekerja serabutan. Salah satu teman kami sampai ada yang bekerja di tempat pijat refleksi, bahkan menjadi nelayan di Kepulauan Seribu. Kami minta keadilan,” tutur Mamat Suryadi kepada Asep Supanda, M. Eng selaku Kepala Sub Direktorat Minat, Bakat dan Organisasi Mahasiswa.
Atas hal ini, Asep berjanji akan segera berkordinasi dengan Biro Hukum dan Organisasi untuk menindaklanjuti masalah ini.
Nelson Nikodemus Simamora, S.H, Pengacara Publik LBH Jakarta menambahkan, “kami juga meminta pihak Kemenristek Dikti tidak hanya memerintahkan Rektor Untag Jakarta untuk tidak menunda lagi pelaksanaan Putusan Pengadilan, tetapi juga memastikan Zainudin Alomon, dkk. Dapat lulus dan memperoleh gelar sarjana tanpa ada lagi gangguan akademik yang dibuat-buat oleh Rektor Untag Jakarta.”
“Zainudin Alomon,dkk sudah terlalu lama menderita. Pemerintah selaku pengawas pendidikan harus menindak Rektor Untag Jakarta yang membangkang terhadap Putusan Pengadilan,” tegas Nelson. (Alfin)