Jakarta, bantuanhukum.or.id—LBH Jakarta bersama Gerakan Masyarakat Melawan Kriminalisasi (GERAM Kriminalisasi) mengadakan Konferensi Pers guna menyikapi kriminalisasi yang masih berlanjut terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan, 23 orang buruh, 1 orang mahasiswa dan 2 orang Pengabdi Bantuan Hukum. Konferensi pers tersebut diselenggarakan di gedung LBH Jakarta 05 Februari lalu.
Dalam konferensi pers tersebut, Wirdan Fauzi Pengacara Publik LBH Jakarta memaparkan bahwa kriminalisasi masih terjadi. Praktik kriminalisasi oleh pihak kepolisian dipergunakan sebagai alat untuk membungkam rakyat. Ia pun mengingatkan bahwasannya kriminalisasi telah terjadi sepanjang tahun 2015. Kriminalisasi tersebut menimpa pimpinan KPK (Bambang Widjojanto dan Abraham Samad), penyidik KPK Novel Baswedan, dan sejumlah penggiat anti korupsi. Lalu kini kriminalisasi juga dikenakan kepada 23 orang buruh dan 1 orang mahasiswa yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka seusai melakukan aksi penolakkan PP Pengupahan pada 30 Oktober 2015 di depan Istana Merdeka. 2 orang Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta yang tengah melakukan pematauan aksi pun tak luput dari kesewenang-wenangan aparat kepolisian, mereka juga ditetapkan sebagai tersangka.
Menyikapi status tersangka kepada 2 orang Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta, Fauzi menyatakan bahwa tindakan kepolisian yang menangkap dan menjadikan tersangka 2 orang rekannya yang saat itu mendampingi buruh saat melakukan unjuk rasa sangatlah bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menjamin Pemberi Bantuan Hukum. UU tersebut menyatakan bahwasannya Pemberi Bantuan Hukum tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum.
“Di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat, polisi harus mengikuti prosedur jika ingin menangkap Pemberi Bantuan Hukum,” tegas Fauzi.
Surya Anta dari GERAM Kriminalisasi menyoroti upaya pembubaran paksa aksi buruh yang berujung penetapan tersangka merupakan kali pertama paska reformasi. Hal tersebut dinilai sebagai upaya pembungkaman atas hak setiap warga negara dalam kemerdekaan penyampaian pendapat di muka umum. Pihak-pihak yang melakukan penghalang-halangan terhadap hak tersebut jelas tidak menghormati hak asasi manusia.
Selanjutnya salah satu korban Dian yaitu seorang buruh yang mendapat kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian menyayangkan tindakan represif pihak kepolisian Polda Metro Jaya kepada buruh saat ingin membubarkan diri paska ditembaki gas air mata.
“Saya juga menyayangi saat itu Kepolisian mengenakan kaos bertulisan turn back crime tetapi tindakannya malah kriminal dan sekarang jadi kriminalisasi harusnya turn back Criminalization,” ungkap dian saat konfrensi pers.
Konfrensi pers tersebut ditutup dengan tuntutan tuntutan kepada Presiden Joko Widodo untuk :
1. Menghentikan setiap bentuk kriminalisasi terhadap buruh, petani, nelayan, miskin kota, pegiat antikorupsi dan yang lainnya yang sampai saat ini masih berlangsung;;
2. (Memerintahkan Jaksa Agung HM. Prasetyo untuk menghentikan kriminalisasi terhadap 23 (tiga puluh tiga) orang buruh dari Gerakan Buruh Indonesia, 1 (satu) orang mahasiswa dan 2 (dua) orang Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta dan penyidik KPK Novel Baswedan serta seluruh kriminalisasi lainnya dalam waktu dekat;
3. Mendesak Jaksa Agung untuk mampu independen dan menolak meneruskan praktik negatif rekayasa kasus (kriminalisasi) oleh kepolisian, menyangkut kewibawaan Kejaksaan sebagai penegak hukum dan penjaga keadilan di Indonesia;
4. Menghimbau kepada masyarakat sipil untuk bersama-sama melawan praktik kotor penegakan hukum dan kriminalisasi;
5. Menyelamatkan Negara dari korupsi dan memastikan berjalannya agenda pemberantasan korupsi yang progresif. [Uchok]