Bocah-bocah tak berbaju// lari dari pintu ke pintu,//
membangun rumah baru// dari bulir-bulir debu.//
Gambar presiden terpajang// di dinding ruang sembahyang,//
bersanding pria berjambang.//
Jejak-jejak janji//
mengerak di lantai,// kliping-kliping berita//
jadi alas derita.
……..
Lirih, Okky Madasari, salah satu artis yang tampil dalam panggung ekspresi Beda.Is.Me tahun ini, memadahkan penggalan bait-bait puisi berjudul Penampungan (2011).
“Penampungan adalah puisi yang dilahirkan dari situsi yang memilukan saat saya berkunjung ke Transito, Lombok,” Okky, pengarang novel Maryam, peraih Khatulistiwa Literary Award 2012, menjelaskan kepada para penonton panggung ekspresi dalam rangka memperingati hari lahir Pancasila, Sabtu sore tadi, 1 Juni 2013, di halaman LBH Jakarta tentang latar puisi yang digubahnya.
Novelis muda ini, yang karya terbarunya, Pasung Jiwa, menuai kontroversi, turut menyayangkan ketidakpatutan sikap dan keputusan SBY menerima penghargaan Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York, “Justru ketika jemaat Ahmadiyah selama 7 tahun terusir dari kampung halamannya, mereka tetap menempelkan foto Presiden SBY di pengungsian. Padahal, pemerintah di bawah kepemimpinannya tidak bertindak menghentikan diskriminasi terhadap mereka. Betapa SBY tidak malu!”
Kali ini Beda.Is.Me menghadirkan seniman-seniman muda yang punya perhatian dalam memperjuangkan keberagaman, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun melalui karya-karyanya. Fortuna Band, Pidi Baiq, Choir GMKI, dll. menyuguhkan musik. Selain puisi dan musik, tari Cendrawasih dari STAH Dharma Nusantara dan drama anak dari Komunitas Rumpin ikut meramaikan panggung ekspresi Beda.Is.Me. Seperti tahun sebelumnya, Beda.Is.Me menyasar anak muda agar pluralisme hidup dalam kesadaran, sikap, dan tindakan mereka, generasi penerus bangsa.
Pada kesempatan yang sama perwakilan Syiah, Ahmadiyah, dan GKI Yasmin testimoni kasus yang mereka hadapi. Mereka tidak lelah menyampaikan harapannya agar pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak saja menimpa komunitas mereka. Dengan tebaran janji SBY, mereka juga menagih pemerintah agar benar-benar memberikan jaminan hak-hak beragama, berkeyakinan, dan beribadah.
Panggung ekspresi ini sejatinya rangkaian panjang kegiatan kerjasama LBH Jakarta dan SketsaKu yang didukung jaringan aktivis dan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak asasi manusia dan keberagaman yang dimulai beberapa bulan sebelumnya dengan lomba desain kaos bertema kebhinekaan. Para pemenang lomba beserta desain kaosnya dihadirkan di atas panggung.
Panggung ekspresi juga menandai dibukanya Pameran Foto Kebebasan Beragama, Berkeyakinan & Beribadah. Pameran foto digelar 1 – 8 Juni di Gedung YLBHI Jakarta dengan Kurator Irma Chantily. Irma adalah kurator yang sama dalam pameran foto Beda.Is.Me tahun sebelumnya. Kali ini pameran foto yang bekerjasama di antaranya dengan Antara Foto, jurnalis Shimbun (Jepang), dan Ucanews.com menampilkan gambar-gambar “kelabu” situasi kebebasan beragama yang fakta-fakatnya menciderai semangat luhur Pancasila: mempersatukan kebhinekaan bangsa. Tujuan dari pameran ini adalah mengingatkan masyarakat pentingnya mengembangkan toleransi dan penghargaan terhadap setiap perbedaan. Pesan-pesan tersebut disampaikan dalam narasi ketika foto-foto yang dipamerkan itu ditampilkan dalam layar yang berdiri di samping panggung ekspresi.
Aksi mural Jakarta untuk Toleransi menjadi rangkaian berikutnya dari kerja bareng kampanye memperingati hari lahirnya Pancasila ini. Mural Jakarta untuk Toleransi akan tersebar di lima titik di Jakarta.
Sementara, Alissa Wahid, putri mendiang Presiden RI Abdurrahman Wahid, yang didapuk memberikan orasi kebudayaan di atas panggung ekspresi Beda.Is.Me menggugat pemerintah yang semakin jauh dari landasan kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila. Penyebabnya, ujar Alissa, “Presiden SBY tidak mengerti rakyatnya, hanya memikirkan diri sendiri.” Sebuah sentilan terhadap SBY yang dianggapnya haus citra lantaran lebih memilih Award dari ACF ketimbang memahami penderitaan warga negaranya yang terampas hak dan kebebasan dalam beragama, berkeyakinan, dan beribadah. “Bukankah Indonesia ber-Ketuhanan yang Maha Esa sekaligus berarti juga bangsa yang memperjuangkan kemanusiaan, mengangkat harkat martabat manusia? Tapi, mengapa yang terjadi sebaliknya?”
Alissa, sebagaimana bapaknya, Gus Dur, yang memberikan perhatian sangat serius terhadap pluralisme, menuturkan keprihatinannya atas kondisi keberagaman di era pemerintahan sekarang. “Kebhinekaan dan toleransi mentok tembok. Wakil rakyat tidak ada yang berani memperjuangkannya. Kelompok intoleran dengan leluasa menekan presiden.”
Menyitir tulisan Gus Dur, ia pun dengan lantang menegaskan, “Indonesia ada karena keberagaman. Kalau tidak ada keberagaman bukan Indonesia.” Ia juga menjabarkan lembar-lembar sejarah di mana pada tahun 1945 para pendiri bangsa perumus Pancasila dengan gigih membangun dasar negara dengan semangat mempersatukan perbedaan suku, bahasa, dan agama.
Dalam kondisi yang penuh putus asa ini, optimisme terus ia gelorakan, “Mari tetap melangkah! Perjuangan kita tidak akan selesai di sini. Jika kita berhenti, Indonesia akan menjadi Pakistan atau Afganistan lain.”
Panggung ekspresi ditutup bersama-sama menyanyikan Pancasila Rumah Kita (Franky Sahilatua) dengan penuh hidmat ketika hari semakin gelap.
Sumber: SEJUK