Konferensi Pers
Koalisi Masyarakat Sipil
Kami mengecam serangan terorisme di Sarinah Jakarta yang telah menimbulkan jatuhnya korban meninggal dan luka-luka, baik itu dari masyarakat maupun aparat keamanan (polisi). Aksi terorisme dengan dalih apapun adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Terorisme merupakan kejahatan serius yang menyerang sendi-sendi kemanusiaan dan rasa aman. Kami prihatin dan mengucapkan belasungkawa kepada para korban akibat serangan terorisme itu. Kami meminta kepada pemerintah untuk memperhatikan para korban dan keluarganya.
Kami tidak lupa juga ingin menyampaikan apresiasi kepada aparat keamanan yang berhasil dengan cepat menangani aksi serangan terorisme di Thamrin. Keberhasilan ini telah mencegah potensi kerusakan dan jatuhnya korban yang lebih besar. Lebih jauh, kami mendukung upaya yang dilakukan oleh kepolisian untuk mengusut dan menindak orang-orang yang diduga terlibat dan menjadi otak dalam serangan terorisme itu.
Kami menilai adanya aksi serangan terorisme di Thamrin Jakarta menunjukkan bahwa terorisme masih menjadi ancaman serius bagi keamanan publik. Karena masalah terorisme ini bersifat kompleks, maka ancaman itu harus ditangani secara serius dan pendekatan yang digunakannya pun harus bersifat komprehensif. Kasus serangan terorisme di Thamrin menegaskan fungsi dan peran intelijen belum maksimal dalam melakukan deteksi dini, sehingga ketidakmaksimalan ini membuat pencegahan dan antisipasi menjadi tidak optimal.
Kami menilai terdapat kecenderungan bahwa pada setiap aksi terorisme selalu diikuti dengan reaksi negara untuk kembali menata bahkan memperkuat pelibatan institusi-institusi keamanan negara secara berlebihan. Kini, pasca serangan terorisme di kawasan Thamrin, muncul kehendak dari pemerintah melalui kepala BIN untuk meminta kewenangan menangkap oleh BIN melalui revisi UU Terorisme dan UU Intelijen. Selain itu, juga ada sebagian pandangan yang beranggapan perlunya segera mengesahkan RUU Kamnas akibat dari aksi terorisme tersebut.
Kami memandang bahwa kehendak pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada lembaga intelijen (BIN) untuk menangkap adalah keliru. BIN bukanlah lembaga penegak hukum sehingga tidak bisa dan tidak boleh diberikan kewenangan judicial. BIN berfungsi melakukan deteksi dini dan bukan instrumen penindak dalam kerangka penegakan hukum.
Kehendak untuk memberikan kewenangan BIN dalam menangkap justru akan menimbulkan kompleksitas tersendiri dalam upaya penanganan terorisme. Dengan kerja yang tertutup, maka pemberian kewenangan menangkap kepada BIN justru akan membuka ruang terjadinya abuse of power dalam berbagai macam bentuk seperti kemungkinan terjadinya penangkapan sewenang-wenang, penculikan dan sebagainya. Hal ini tentu akan mengancam kehidupan negara demokrasi dan negara hukum.
Selain itu, pemberian kewenangan menangkap kepada BIN akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kerja antar aparat negara khususnya tumpang tindih kerja antara insitusi kepolisian dengan BIN. Penting untuk di ingat, upaya penanganan terorisme di Indonesia menggunakan mekanisme criminal justice sistem model dimana institusi penegak hukum-lah yang terdepan untuk mengatasi terorisme dan hal itu di atur dalam UU. No. 15/2003 tentang pemberantasan terorisme. Karena itu, adalah salah dan keliru jika negara memberikan kewenangan menangkap kepada BIN untuk mengatasi terorisme. Dalam konteks penanganan terorisme, fungsi BIN tetap diletakakan dalam tugas dan fungsi aslinya untuk melakukan pencegahan dengan deteksi dini.
Kami juga menilai adanya pandangan yang beranggapan bahwa akibat dari peristiwa terorisme maka dibutuhkan segera agar negara mengesahkan RUU Kamnas adalah keliru. RUU Kamnas bukanlah jawaban atas masalah dalam mengatasi acaman terorisme. Problematika dalam penanganan masalah terorisme saat ini bukanlah karena tidak adanya RUU Kamnas, akan tetapi lebih pada faktor kinerja dari aparat keamanan untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal berdasarkan undang-undang yang sudah ada.
Apalagi RUU Kamnas draft terkahir (September 2015) masih memiliki paradigma eksesif dimana defenisi ancaman keamanan nasional bersifat karet dan multitafsir. Dengan definisi ancaman seperti itu, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan semakin besar. Contohnya, masyarakat yang kritis terhadap kekuasaan dapat saja dikategorikan sebagai ancaman potensial dan ancaman aktual. Karena itu, kami menolak draft RUU Keamanan nasional untuk dibahas dan disahkan oleh pemerintah dan parlemen.
Kebijakan negara untuk menanggulangi terorisme memang bukan hanya perlu, tapi juga harus. Terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik, kesejahteraan sosial dan tegaknya keadilan. Undang-undang tindak pidana terorisme harus hanya merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan anti-terorisme.
Hukum, dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of state power. Dengan mengingat ulang teori itu, bisa dikatakan bahwa produk legislasi antiterorisme sebenarnya perlu dan bersesuaian dengan kepentingan warga negara terhadap perlindungan hak-haknya.
Tetapi harus diingat: liberty and security of person adalah hak asasi manusia dari setiap warga negara yang selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable), juga bersifat tidak dapat diceraikan (indivisible). Adalah sangat berbahaya bila negara bertindak dalam pikiran keliru bahwa hak-hak fundamental itu bisa saling menggantikan.
Dalam menyusun kebijakan anti-terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yakni menempatkan perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap ”security of person”. Atas nama keamanan, kebebasan tidak bisa dikorbankan. Dalam konteks ini, kebijakan penanganan terorisme harus dijalankan melalui kerangka yang tetap menjunjung tinggi tatanan negara yang demokratik, prinsip negara hukum, serta menjamin kebebasan dan hak asasi manusia.
Jakarta, 17 Januari 2016
Koalisi Masyarakat Sipil