Jakarta, bantuanhukum.or.id-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggelar konferensi pers perihal kasus salah tangkap yang menimpa Didit Aditianto di LBH Jakarta pada hari Minggu (03/01/2016). Didit yang merupakan warga Margahayu, Bekasi Timur, dituduh telah menghilangkan nyawa Yosafat Lais, warga Rawa Semut, pada saat terjadi tawuran antara warga Margahayu dan warga Rawa Semut pada hari Minggu, 21 Juni 2015. Konferensi Pers ini dihadiri oleh Ratna Juwita, Ibunda mendiang Yosafat, serta Nani, Ibunda Didit.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Johanes Gea, memaparkan bahwa dalam proses penetapan tersangka terhadap Didit telah terjadi penyiksaan yang dinilai cukup parah.
“Alih-alih melakukan proses penyidikan yang baik dan profesional demi mengungkap kebenaran kasus yang terjadi, para penyidik justru mengambil jalan pintas dengan memaksakan pengakuan dari Didit. Pengakuan tersebut diperoleh dengan cara-cara yang jauh dari humanis dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia,” papar Johanes Gea.
Penyiksaan demi Pengakuan
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terdapat praktik-praktik penyiksaan dan intimidasi yang dilakukan oleh polisi terhadap Didit beserta teman-temannya. Pada saat polisi tiba di kontrakan Didit, tanpa basa-basi polisi memukuli Didit dan membawanya ke dalam ruangan. Dari keterangan Didit di persidangan juga diketahui bahwa kepalanya dimasukkan ke dalam kantong plastik dan mulut serta kedua matanya ditutup dengan lakban dan lantas dipukuli. Ia menyatakan bahwa para penyidik tersebut memaksanya mengaku sebagai pelaku yang membunuh Yosafat. Keterangan tersebut sesuai dengan keterangan saksi-saksi lain yang menyaksikan langsung tindakan brutal aparat kepolisian terhadap Didit selama diproses.
LBH Jakarta sangat menyayangkan tindakan para aparat kepolisian yang seharusnya bertindak sepatutnya penegak hukum. Bahwa pada faktanya, terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh para aparat tersebut dalam menyelesaikan kasus ini. Dalam Pasal 66 ayat (4) Peraturan Kepala Polri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan, diatur dengan tegas bahwa penyidik/penyidik pembantu dilarang menggunakan kekerasan, tekanan atau ancaman dalam bentuk apapun. Begitu juga sebagaimana diatur dalam United Nations Convention against Torture, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1998, bahwa tindakan penyiksaan, baik jasmani maupun rohani, oleh pejabat pemerintah pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang tersebut merupakan tindak pidana.
Dalam konferensi pers ini, Ibunda Didit menampilkan foto-foto yang menampakkan penampilan Didit yang babak belur seusai mengalami penyiksaan oleh polisi. Beliau menyayangkan kejadian yang terjadi ini dan sangat berharap agar anaknya diputus bebas oleh majelis hakim.
“Saya hanya minta anak saya bebas,” kata Nani terisak-isak yang tak bisa menahan air matanya.
Kejadian yang cukup unik dengan kasus ini adalah bahwa pihak dari keluarga korban ikut mendukung dibebaskannya terdakwa yang diduga merupakan korban salah tangkap. Ibunda mendiang Yosafat meyakini bahwa pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran bebas dan harus diadili. Beliau berharap agar tidak ada Didit-Didit lain kedepannya.
Salah Tangkap
Didit kini mendekam di rumah tahanan, tengah menunggu sidang pembacaan putusan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Bekasi pada hari Rabu, 6 Januari 2016 nanti. Ia telah menjalani proses peradilan yang cukup panjang sejak dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi pada Senin 21 Juni 2015 silam.
Baik orang tua terdakwa juga orang tua korban meyakini Didit bukanlah pelakunya dan berharap Didit dijatuhkan putusan bebas pada hari Rabu nanti. Pasalnya, menurut fakta yang muncul di persidangan, pelaku yang sebenarnya yang dikenal dengan panggilan ‘Achil’ masih berkeliaran bebas.
Kasus salah tangkap tentu menimbulkan kerugian, baik materil maupun imateril, yang mendalam bagi korbannya. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 yang baru diterbitkan menawarkan kemungkinan ganti rugi dengan nominal yang terbilang lumayan bagi korban salah tangkap seperti Didit. Kendati demikian, aturan tersebut bukan merupakan solusi untuk menjamin tidak terulangnya kasus ‘malpraktek’ di tubuh kepolisian apabila tidak ada evaluasi yang komprehensif bagi kinerja para penyidik yang bertugas. (Arnold)