Jakarta, bantuanhukum.or.id—LBH Jakarta bersama dengan Koalisi Peringatan Hari HAM 2015 (Koper HAM) menggelar diskusi publik yang mengangkat Tema “Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK dan Cita-cita Indonesia tanpa Pelanggaran HAM, di Gedung LBH Jakarta (07/12). Diskusi publik ini digelar mengingat selama satu tahun Pemerintahan Jokowi cerita tentang pelanggaran HAM belum juga usai, bahkan cenderung bertambah.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh Andreas Harsono (Jurnalis dan Peneliti Human Rights Watch), Sri Palupi (Institute Ecosoc) dan Sumarsih (Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan/ JSKK) sebagai narasumber ini menjelaskan secara jelas bagaimana Indonesia masih merupakan negara yang rentan akan pelanggaran HAM. Pertama, Pelanggaran terhadap Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Terdapat 1000 rumah ibadah ditutup bahkan dirusak oleh masyarakat penganut agama mayoritas setempat, kebanyakan adalah gereja misal seperti yang terjadi di Temanggung. Selain itu, terdapat 600 orang penganut aliran Syiah di Sampang yang dipaksa untuk menganut aliran Sunni, karena mereka tidak mau kemudian mereka diusir dari daerah tersebut.
Andreas Harsono memaparkan beberapa fakta terkait Hak atas Kebebasan Beraagama dan Berkeyakinan yang masih rentan pelanggaran di Indonesia.
“Orang Islam Syiah di Sampang tidak boleh mencantumkan agama Islam dalam KTP sehingga mereka terpaksa mencantumkan agama lain di luar Islam dalam KTP,” terang Andreas.
Pemaparan ini didukung dengan salah satu fakta yang ada dan menimpa salah seorang penganut Syiah di Sampang Madura. “Salah satu korban bernama Hamah seorang penganut aliran Syiah yang terpaksa mencantumkan Kristen sebagai agamanya dalam KTP,” tambah Andreas.
Kedua, Kekerasan Seksual terhadap Perempuan yaitu adanya tes keperawanan terhadap calon anggota TNI dan Polri. LSM sudah sedari lama meminta TNI dan Polri untuk menghentikan praktik tersebut namun tetap saja masih diterapkan dengan alasan untuk mengetahui kesehatan reproduksi calon anggota seperti adanya penyakit keputihan dan myom. Padahal tanpa melakukan tes keperawanan, penyakit tersebut dapat dideteksi dengan melakukan tes urine. “Bagaimana tidak merasa trauma, korban yang rata-rata masih remaja, kelaminnya disentuh orang lain. Jumlah dokter perempuan di Indonesiakan tidak banyak, sehingga mau tidak mau dokter laki-laki turun tangan untuk melakukan tes keperawanan, ini jelas kekerasan seksual.” tambah Andreas.
Ketiga, kasus pelanggaran HAM masa lalu sampai saat ini masih menggantung. “Ketika KOMNAS HAM telah melakukan penyelidikan mestinya Kejaksaan Agung melakukan penyidikan namun sudah 15 tahun kasus Semanggi 1 dan 2 berlalu, Kejaksaan Agung belum juga menindaklanjuti kasus ini.” ungkap Sumarsih.
Karena sulitnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, akhirnya JSKK melakukan aksi payung hitam atau yang lebih dikenal sebagai aksi Kamisan. “Harapan demi harapan kami toreh, namun janji Jokowi dalam kampanyenya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran masa lalu masih belum terwujud.” tambah Sumarsih.
Keempat, kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang masih belum berkembang bahkan semakin merosot. Kebijakan pembangunan ekonomi Jokowi masih melanjutkan kebijakan presiden terdahulu yang mengangkat kebijakan konglomerasi dan meminggirkan rakyat. “Kebijakan ekonomi kerakyatan yang digembar-gemborkan oleh Jokowi belum jelas wujudnya, malah menggunakan program charity, seharusnya menggunakan program pemberdayaan sebagai pola pendekatan HAM.” papar Sri Palupi. (Citra)