Siaran Pers
Teknik penyidikan gaya lama dan ketinggalan zaman dengan mengejar pengakuan dari Saksi dan Tersangka melalui penyiksaan sudah seharusnya ditinggalkan dan tidak ada lagi dalam benak si Penyidik bahwa pengakuan merupakan alat bukti utama dalam membuat terangnya suatu perkara. Namun pada faktanya tindakan penyiksaan masih sering terjadi di tingkat penyidikan di Indonesia. Seharusnya prinsip exclusionary rules (menyatakan tidak sah alat bukti yang diperoleh secara illegal seperti penyiksaan) dapat diterapkan. LBH Jakarta seringkali menerima dan mendamping kasus-kasus penyiksaan yang pada akhirnya si Terdakwa dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah atau sering dikenal dengan salah tangkap. Kasus Didit adalah salah satu potret penyiksaan dan kasus salah tangkap yang kini sedang didampingi LBH Jakarta dan kasusnya masih disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi.
Pada tanggal 21 Juni 2015 sekira pukul 01.00 WIB, terjadi tawuran antara warga Margahayu Bekasi dengan Warga Rawa Semut Bekasi, yang mana tawuran tersebut merupakan kebiasaan yang sering terjadi setiap bulan puasa. Dalam tawuran tersebut ikut juga warga Ampera Bekasi dan bergabung membantu warga Margahayu. Beberapa saat setelah warga Rawa Semut terpukul mundur dan kabur dari teman tawuran, tiba-tiba 2 orang warga Rawa Semut dengan menggunakan motor ingin membunuh warga Margahayu. Salah satu dari warga Rawa Semut tersebut adalah Korban yang bernama Yosafat. Sesaat ketika salah satu warga Rawa Semut mengayunkan celuritnya, dari belakang seorang pemuda yang diduga bukan Didit tetapi pemuda dari warga Ampera, membacok punggung belakang Yosafat dengan celurit. Korban tidak jatuh di tempat, masih bisa berjalan, dan langsung dibawa temannya ke rumah sakit. Namun sesampainya di rumah sakit Korban meninggal. Terdapat beberapa pemuda Margahayu yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri proses pembacokan tersebut dan dan bahkan ada salah satu Saksi yang berbicara langsung dengan Pelaku yang sedang membawa celurit yang penuh darah. Sedangkan posisi Didit, si korban salah tangkap, berada jauh sekitar 200 meter dari tempat kejadian perkara (TKP) dan hal ini juga disaksikan oleh beberapa orang dengan mata kepala sendiri bahwa sejak awal tawuran sampai selesai, Didit hanya berada jauh 200 meter dari TKP dan tidak membawa cocor bebek atau senjata lainnya untuk membunuh Korban sebagaimana yang didakwakan.
Setelah mendapatkan laporan terkait adanya korban, Polisi langsung menuju ke TKP dan melihat ada darah di sekitar TKP. Namun sangat disayangkan sampel darah tersebut tidak diambil untuk dilakukan cek di laboratorium forensik untuk menentukan apakah itu darah Korban atau tidak sekaligus memeriksa apakah ada jejak dari si Pelaku. Selanjutnya Polisi bergerak ke tempat Didit menginap bersama 5 rekan lainnya. Ternyata Polisi sudah memegang nama Didit sebagai pelaku pembunuhan tanpa ada dasar yang jelas berdasarkan hukum. Kemudian puluhan Polisi dengan bringasnya masuk ke kamar kontrakan dimana Didit dan 5 rekannya tempati, lalu mengintrogasi dengan teknik penyiksaan yang pada pokoknya meminta pengakuan dari Didit bahwa dialah yang membacok Korban. Dalam kontrakan tersebut Polisi menemukan cocor bebek, namun sayangnya senjata tersebut diambil dengan tangan telanjang tanpa alat khusus. Polisi tidak melakukan tes sidik jari, tidak melakukan tes apakah ada darah atau tidak pada senjata cocor bebek tersebut, dan tidak melakukan tes DNA. Setelah itu, mereka dibawah ke Lapangan depan Mesjid dan Polisi melakukan penyiksaan kembali. Sesampainya di Polsek Bekasi Timur, Polisi melakukan BAP terhadap Didit dan 5 rekannya. Selanjutnya mereka dibawa ke Polres Kota Bekasi. Di Polres, 5 rekan didit di tahan 1×24 Jam dan Didit dijadikan Tersangka. Sangat disayangkan, keterangan 5 rekan Didit tersebut dihilangkan dari list alat bukti berkas perkara, sehingga fakta sesungguhnya dalam perkara ini hilang lenyap begitu saja seiring dihilangkannya keterangan 5 Saksi rekan Didit yang tahu sesungguhnya apa yang terjadi terkait peristiwa meninggalnya Yosafat.
Jelas-jelaslah bahwa Penyidik tidak menggunakan scientific metodh of investigation dalam membuat terang kasus ini, tetapi mengejar pengakuan. Hal ini sudah terbukti dengan keterangan saksi-saksi yang telah dihadirkan oleh Penasihat Hukum. Tindakan penyidik ini terkesan mendapat dukungan dari Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi dengan terus melanjutnya kasus ini ke meja hijau. Selain itu sejak awal Majalis Hakim memberikan kesan tidak netral selama menyidangkan perkara ini. Salah satu contohnya adalah Hakim awalnya tidak mengijinkan kuasa hukum untuk bertanya kepada saksi secara langsung, kemudian hakim juga menyumpah mereka yang bukan berkualifikasi sebagai saksi ataupun ahli. Kami mengkhawatirkan Putusan Majelis Hakim nantinya tidak berlandaskan keadilan berdasarkan fakta – fakta persidangan yang terungkap.
Demikianlah pernyataan pers ini kami sampaikan dengan harapan agar kiranya Majelis Hakim dapat memeriksa dan mengadili secara adil, penuh dengan hati nurani, netral dan imparsial, sehingga yang terbukti tidak bersalah tidaklah dihukum. Adapun saaat ini persidangan sudah tahap pengajuan saksi-saksi dari Penasihat Hukum, Rabu 25 November 2015 sekitar Pukul 13.00 WIB akan dilanjutkan dengan agenda sidang pemeriksaan ahli dokter forensik dan beberapa saksi fakta. Besar harapan kami rekan-rekan wartawan dapat mengawal kasus ini, agar keadilan sejati yang dicita-citakan tercapai.
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung: Johanes Gea (0813-6666-1627)