Jakarta, 20 November 2015 – Satu tahun sudah sejak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo, yang kini menjadi presiden. Selama setahun menjabat sebagai gubernur, Ahok banyak membuat gebrakan-gebrakan yang kontroversial. Mulai dari konflik dengan DPRD DKI Jakarta terkait dengan penetapan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta, larangan bersepeda motor di bilangan Jalan Thamrin, penggusuran di berbagai wilayah DKI Jakarta, hingga yang terakhir pembatasan aksi unjuk rasa di berbagai tempat.
Menanggapi bagaimana perjalanan pemerintahan Ahok di DKI Jakarta selama setahun ini, LBH Jakarta menyoroti 2 (dua) hal penting selama satu tahun pemerintahan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kedua hal tersebut adalah sebagai berikut: (1) Penggusuran paksa yang banyak terjadi di 30 (tiga puluh) titik di wilayah DKI Jakarta; dan (2) pembatasan kebebasan hak berpendapat dan berekspresi di DKI Jakarta.
Terkait dengan penggusuran di DKI Jakarta, selama Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, berdasarkan data yang dimiliki oleh LBH Jakarta selama bulan Januari hingga Agustus 2015, terdapat 3433 kepala keluarga dan 433 unit usaha yang menjadi korban penggusuran paksa yang berada di 30 (tiga puluh) titik di wilayah DKI Jakarta. Hal ini merupakan angka penggusuran paksa tertinggi sepanjang sejarah pemerintahan kota Jakarta. Penggusuran paksa tersebut dilakukan tanpa ada musyawarah yang tulus, pemukiman warga dianggap ilegal dan banyak yang akhirnya kehilangan tempat tinggal yang telah dihuni selama puluhan tahun. Perlakuan tersebut tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang menggunakan cara penggusuran paksa terhadap masyarakat miskin untuk alasan pembangunan. Padahal, untuk diketahui sebelumnya, penggusuran paksa telah dikategorikan merupakan pelanggaran HAM berat sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, sebagaimana yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, dan Komentar Umum PBB No. 4 Tahun 1992 tentang Hak atas Perumahan yang Layak, serta Komentar Umum PBB No. 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa.
Pemerintahan Ahok juga mengeluarkan peraturan yang membatasi kebebasanhakwarga negara terutama untuk melakukan Demonstrasi. Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Penyampaian Pendapat Umum yang kini telah dirubah dengan Peraturan Gubernur No. 232 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka, yang pada pokoknya membatasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat di tempat-tempat tertentu. Padahal kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah salah satu hak fundamental yang harus dimiliki oleh warga negara dalam negara demokratis.
Lebih parah lagi, dalam permasalahan penggusuran paksa maupun pembatasan kebebasan berekspresi, Ahok tidak segan untuk melibatkan aparat TNI dalam melakukan penertiban terhadap warganya. Dalam kasus penggusuran paksa misalnya, pelibatan personel militer terlihat jelas ketika Pemprov DKI Jakarta melakukan penggusuran paksa di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur pada 18 Agustus 2015 yang lalu. Sementara itu, dalam pembatasan kebebasan berekspresi di Jakarta, Pergub DKI Jakarta No. 232/2015 juga memberikan ruang bagi personel TNI dalam melakukan koordinasi dan pemantauan dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum.
Alghiffari Aqsa, S.H.selaku direktur LBH Jakarta menyatakan, “Ahok harus mendorong peraturan anti pengggusuran paksa yang melindungi warga tergusur baik yang memiliki alas hak kepemilikan ataupun tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas bertempat tinggal serta Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Komentar Umum HAM PBB No. 2/1992 serta Komentar Umum HAM PBB No. 7/1997.”
Terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Ahok tentang pembatasan lokasi demonstrasi, pria yang sering disapa Alghif ini juga menambahkan bahwa Pergub No. 232/2015 telah bertentangan dengan undang-undang. “Pergub No. 232/2015 harus dicabut karena bertentangan dengan undang-undang yakni UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum serta Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada dasarnya telah mengatur tentang kebebasan berpendapat di muka umum,” tambah Alghif.
Selain itu, Alghif juga melanjutkan bahwa Pergub No. 232/2015 juga tidak begitu signifikan. “Saat ini, UU No. 9 Tahun 1998 sudah cukup mengakomodir hak dan kewajiban masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi dan yang tidak. Selain itu, UU No. 9/1998 juga sudah mengatur secara spesifik batasan-batasan dalam melakukan aksi, sehingga peraturan gubernur tersebut pada dasarnya tidak perlu lagi,” lanjut Alghif.
Dalam hal penggunaan aparat TNI dalam melakukan penggusuran dan pemantauan pada pelaksanaan penyampaian pendapat umum, Alghif juga menyampaikan bahwa seorang kepala daerah tidak berwenang untuk menggerakan aparat militer. “Ahok telah melampaui kewenangannya sebagai seorang kepala daerah dengan menggerakkan militer dalam melakukan penggusuran warga maupun pembatasan kebebasan berpendapat di muka umum. Hal ini jelas dinyatakan dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa urusan pemerintahan dalam bidang pertahanan dan keamanan merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain yang dapat menggerakkan TNI adalah pemerintah pusat dan bukan kepala daerah,” jelas Alghif.
Berdasarkan hal tersebut, pada 1 (satu) tahun kepemimpinan Ahok di Jakarta, LBH Jakarta juga menghimbau kepada Ahok agar memimpin DKI sesuai dengan koridor konstitusi dan hak asasi manusia. “Ahok selama ini selalu ‘berteriak’ taat pada konstitusi. Kali ini kami tantang Ahok untuk memimpin Jakarta sesuai dengan konstitusi yang selama ini dia gembar-gemborkan dan tentunya sesuai dengan koridor hak asasi manusia dan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” tantang Alghif.
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung: Alghiffari Aqsa, S.H. (08120666410), Matthew Michele Lenggu,S.H. (085920641931)