Rilis No.: 1250/SK-RILIS/XI/2015
Maraknya permasalahan kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual pada anak dan remaja sesungguhnya belum ditempuh upaya pencegahan hingga ke akar. Upaya edukasi melalui sekolah sebagai pencegahan benih-benih kekerasan seksual tumbuh harus ditempuh. Salah satu caranya dengan menjadikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagian dalam kurikulum pendidikan sekolah. Berdasarkan penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP Universitas Indonesia, Pendidikan Kesehatan Reproduksi dapat mencegah perilaku remaja di sekolah untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, memberikan remaja informasi untuk menghindar dari bahaya penyakit menular seksual, serta memberikan kemampuan bagi remaja untuk dapat mengendalikan dorongan seksualnya.”
Oleh karena itu, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, orang tua, dan guru mengajukan Uji Materi Pasal 37 UU Sistem Pendidikan Nasional (“UU Sisdiknas”).
Sayangnya, proses Uji Materi UU Sisdiknas ini tidak sesuai dengan prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi dan Hakim terindikasi melanggar kode etiknya sendiri. Sejak gugatan didaftarkan pada 12 Februari 2015, MK belum melaksanakan sidang pleno untuk mendengarkan saksi dan ahli untuk perkara dengan No. 28/PUU-XIII/2015 ini, dan tiba-tiba Senin (1/11) MK melalui telepon mengabarkan agenda Putusan hari ini. MK hanya melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan dan perbaikannya pada bulan Maret.
Pemohon memprotes tindakan Hakim yang tidak sesuai dengan aturan proses beracara di MK. Seharusnya, pemeriksaan saksi dan ahli dalam sidang pleno merupakan hak sekaligus kewajiban yang dimiliki serta dilakukan oleh Pemohon. “Kami sudah memberikan surat protes. Namun, tidak diindahkan oleh Hakim MK. Padahal aturan ini jelas tertuang dalam Ini yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang.” Jelas Bunga Siagian, Kuasa Hukum Seperlima. “Undangan sidang tidak diterima dengan patut karena diberikan H-2 sidang pembacaan putusan,” lanjut Muhamad Isnur, Kuasa Hukum Seperlima.
Lebih lanjut, MK tidak memberikan kesempatan Seperlima sebagai Pemohon serta saksi dan ahli untuk didengarkan keterangannya dalam sidang pleno, sementara memberikan kesempatan tersebut pada Pemohon lain. Padahal, sidang pleno itu kesempatan pembuktian bagi Pemohon.
“Hakim MK diskriminatif dalam melaksanakan uji materi UU Sisdiknas ini,” ucap Muhamad Isnur, Kuasa Hukum Seperlima. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi secara gamblang menyatakan bahwa prinsip kesetaraan dan tidak diskriminatif adalah salah satu prinsip mereka. “Kalau seperti ini, Hakim MK melanggar kode etiknya sendiri,” lanjutnya lagi.
Berdasarkan hal di atas, kami menyatakan kekecewaan pada Mahkamah Konstitusi sebagai institusi peradilan tertinggi yang menguji aturan tertinggi, terkhusus kepada para hakim MK yang tidak mengindahkan hukum acara MK serta melanggar kode etiknya. Kami berharap ini bukan menjadi hambatan bagi upaya pencegahan kekerasan seksual melalui pendidikan kesehatan reproduksi.
Narahubung:
Frenia Triasiholan (0815 8320 406)
Fahmi (085711520646)
Bunga Siagian (0856 702 8934)