Buyung sempat menjadi relawan di sebuah lembaga bantuan hukum di Melbourne.
Berpulangnya Adnan Buyung Nasution ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa, Rabu (23/9), rupanya tak hanya menyisakan duka yang mendalam bagi Indonesia. Kehilangan tersebut nampaknya juga dirasakan oleh University of Melbourne, Australia.
Setidaknya itulah yang dapat ditangkap dari artikel berjudul “Farewell Adnan Buyung Nasution” yang ditulis oleh Tim Lindsey, Direktur Center for Indonesia Law, Islam, and Society. Artikel ini dimuat pada hari Senin, 5 Oktober 2015, di laman http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au.
Pasca menempuh pendidikan sarjana di Universitas Indonesia, Buyung memang mengenyam pendidikan master hukum internasional di bawah bimibingan Profesor Leiser di University of Melbourne. Dari universitas ini pula lah Buyung diberikan gelar Profesor kehormatan di tahun 2010.
Gelar tersebut, tulis Lindsey, diberikan karena kiprah Buyung sebagai founding father bantuan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. “Lembaga yang kemudian dikenal sebagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini, pada masa orde baru merupakan kuncian oposisi pemerintahan,” ungkapnya.
LBH juga menjadi kawah candradimuka bagi banyak lawyer muda yang dulunya dimentori oleh Buyung dan banyak di antaranya sekarang memegang peranan penting di Indonesia, papar Lindsey.Satu hal yang mungkin belum diketahui banyak orang, Buyung terinspirasi dari masa belajar di Melbourne saat mendirikan LBH.
“Dalam mendirikan LBH, Buyung terinspirasi dari studinya di Melbourne Law School. Tempat dimana ia dikenalkan kepada organisasi bantuan hukum setempat lalu menjadi relawan di sana,” kata Lindsey dalam artikel.
Profesor Asian Law dari University of Melbourne yang ternyata pernah menjadi “murid” Buyung saat melakukan penelitian di LBH Jakarta ini pun bercerita panjang lebar mengenai kiprah Buyung.
Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang otoriter, Buyung dikenal sebagai pengacara yang pembangkang, tulis Lindsey. Buyung banyak terlibat sebagai penasihat hukum orang-orang yang harus diadili karena undang-undang subversif. Kebanyakan dilakukannya secara pro bono.
Bukan tanpa alasan, Buyung membela orang-orang tersebut untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa telah terjadi manipulasi sistem hukum yang dilakukan oleh rezim penguasa saat itu. Buyung melakukan hal tersebut untuk memberitahukan kepada dunia bahwa sudah terjadi korupsi sistemik dalam pemerintahan orde baru, papar Lindsey.
Kritiknya terhadap pemerintah orde baru juga menyasar pada pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dan aturan hukum yang didukung oleh pasukan militer Indonesia. Meski hal tersebut membahayakan dirinya, ungkap Lindsey, Buyung tak gentar menyuarakan pelanggaran yang terjadi pada setiap kesempatan.
“Pada banyak waktu yang berbeda, Buyung ditangkap, dipenjara, diancam hidupnya, dan dipaksa ke pengasingan di Belanda selama empat tahun. Namun dia tetap tidak terpengaruh oleh upaya rezim untuk membungkamnya tersebut,” ujar Lindsey.
“Buyung selalu kembali untuk bertindak bagi masyarakat miskin dan orang-orang yang haknya direbut,” lanjutnya
Kontribusi luar biasa Buyung untuk hak asasi manusia dan akses terhadap keadilan di Indonesia yang diakui secara internasional. Ia memenangkan penghargaan untuk bantuan hukum di Stockholm pada awal 1976 dan di London pada tahun berikutnya.
Namun di Indonesia kontribusi dan karya Buyung semasa hidup baru dihargai bertahun-tahun setelahnya; setelah rezim orde baru turun. “Pemikiran Buyung tentang demokrasi dan konstitusionalisme membantu membentuk banyak reformis dalam merekonstruksi konstitusi Indonesia selama empat tahun dari 1999 ke 2002,” tulis Lindsey.
“Konstitusi baru Indonesia (amandemen UUD, red) memuat prinsip-prinsip demokrasi dan khususnya termasuk juga pemisahan kekuasaan, seperti yang selalu didesak Buyung,” imbuhnya.
Memasuki usia tua dengan berbagai keberhasilan dan penghargaannya, masih banyak yang ingin diperjuangkan oleh Buyung. Mempersatukan advokat dan membenahi disiplin etika yang seharusnya disandang para profesional-profesional tersebut menjadi satu di antaranya, Lindsey menuliskan hal tersebut dalam artikelnya.
Selain itu, menjelang akhir hayatnya, begini pesan terakhir Buyung yang ditinggalkan kepada koleganya Todung Mulya Lubis melalui secarik kertas: “jagalah LBH/YLBHI, teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas.”
“Indonesia telah kehilangan seorang pengacara yang luar biasa, pemikir, dan aktivis politik. Adnan Buyung Nasution mencapai banyak hal untuk Indonesia dengan melawan rintangan yang luar biasa,” kenang Lindsey. “Dia telah meninggalkan warisan yang signifikan; dari reformasi, menjadi panutan bagi profesi pengacara, dan visi yang jelas tentang bagaimana Indonesia menjadi negara hukum suatu hari nanti,” lanjutnya. (hukumonline.com)