Panitia Kerja (Panja) RUU Penyandang Disabilitas Komisi VIII DPR sudah menyelesaikan draft RUU Penyandang Disabilitas. Draft itu saat ini sudah diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Walaupun mengalami kemajuan, tetapi proses persiapan RUU Penyandang Disabilitas berjalan sangat lambat. Seharusnya RUU tersebut sudah masuk dalam tahap pembahasan bersama Pemerintah, karena Panja RUU Penyandang Disabilitas sendiri sudah terbentuk dari bulan Mei 2015.
Selain proses yang lambat, Draft RUU yang dihasilkan oleh Panja Komisi VIII pun mengalami kemunduran pesat dibandingkan dengan draft RUU yang diusulkan oleh masyarakat. Dari jumlah pasal, Panja Komisi VIII DPR memangkas 117 Pasal, yaitu dari 268 Pasal menjadi tinggal 151 Pasal. Secara substansi, pasal-pasal yang dihapus adalah justru yang sangat dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas, yaitu melingkupi ketentuan yang terkait dengan pemenuhan prinsip-prinsip dasar dalam Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2011. Contohnya, Draft Panja Komisi VIII menghapus pasal –pasal yang mengatur perihal kebutuhan fasilitas dan pelayanan bagi penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, transportasi, kesehatan, dan lain sebagainya.
Substansi lain yang mencerminkan adanya kemunduran yang sinifikasi adalah dengan dimasukannya kembali Kementerian Sosial sebagai leading sector dari isu disabilitas. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas, yang menyatakan bahwa “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial”. Pengaturan itu bertentangan dengan 3 hal sekaligus, yaitu sebagai berikut.
1. bertentangan dengan tujuan pembentukan UU Penyandang Disabilitas;
2. bertentangan dengan berbagai ketentuan UU lain; dan
3. bertentangan juga dengan substansi dari RUU Penyandang Disabilitas itu sendiri.
Ditetapkannya Kementerian Sosial sebagai sebagai leading sector melanggar tujuan bahwa RUU Penyandang Disabilitas tidak lagi hanya fokus pada sektor sosial, tetapi harus bergeser untuk menempatkan isu disabilitas sebagai isu Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam perspektif itu, maka pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak bisa hanya dibatasi pada satu Kementerian saja, tetapi sudah harus dipandang sebagai isu lintas Kementerian.
Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas tidak sinkron dengan ketentuan dalam berbagai Undang-undang lain. Hasil riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan bahwa isu disabilitas sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mencakup 19 sektor yang berbeda, dimana 18 sektor diantaranya sudah diatur dalam Undang-undang tersendiri. Data itu menunjukan bahwa banyak sektor, atau dalam hal ini Kementerian/Lembaga, yang memiliki tugas atau kewenangan dalam isu disabilitas, bukan hanya Kementerian Sosial.
Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas juga tidak sinkron dengan ketentuan lain dalam RUU Penyandang Disabilitas itu sendiri. Dari awal RUU Penyandang Disabilitas mengatur banyak sektor terkait, sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara lintas Kementerian/Lembaga. Cara pengaturan itu berbeda jauh dengan UU 4/1997, sehingga penempatan Kementerian Sosial sebagai leading sector seperti dilakukan dalam UU 4/1997 sudah tidak relevan lagi untuk dianut dalam RUU Penyandang Disabilitas. Bahkan apabila Pasal 1 angka 18 tetap dipertahankan, maka Kementerian/Lembaga lain, yang sebenarnya memiliki keterkaitan, tidak merasa bertanggungjawab. Sedangkan Kementerian Sosial yang diberikan tanggungjawab selalu tidak mampu menuntaskannya karena memang diluar tugas dan fungsinya sendiri, yang dalam Perpers Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial hanya mencakup rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin.
Patut diakui bahwa pada saat merumuskan draft RUU Penyandang Disabilitas, Panja Komisi VIII membuka kesempatan masyarakat untuk memberikan masukan. Namun, dari sekian pertemuan yang dilakukan, aspirasi masyarakat yang muncul selalu menginginkan bahwa isu disabilitas sudah harus masuk sebagai isu lintas Kementerian, tidak hanya berada di tangan Kemensos. Patut dicurigai bahwa munculnya Pasal itu adalah karena posisi Komisi VIII yang bermitra kerja dengan Kementerian Sosial, sehingga perspektif yang digunakan oleh para anggota Panja Komisi VIII adalah hanya dari aspek sosial belaka.
Berdasarkan penjelasan itu, maka Kami, Pokja RUU Penyandang Disabilitas, menyatakan bahwa,
1. mendesak Baleg DPR untuk segera menuntaskan proses harmonisasi dan sinkronisasi RUU Penyandang Disabilitas;
2. mendesak Baleg DPR untuk menyatakan bahwa Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas bertentangan dengan UU lain di berbagai sektor;
3. mendesak Panja Komisi VIII agar segera menghapus Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas dan menjadikan isu disabilitas ditangani oleh lintas Kementerian;
4. mendesak Pimpinan DPR untuk segera mengalihkan penanggungjawab persiapan dan pembahasan RUU Penyandang Disabilitas dari Komisi VIII kepada Panitia Khusus (Pansus), sehingga dalam prosesnya dapat melibatkan anggota DPR dari lintas Komisi;
5. mendesak Presiden RI untuk tidak menunjuk Kemensos sebagai perwakilan Pemerintah dalam proses pembahasan RUU penyandang Disabilitas bersama DPR kelak. Presiden RI harus melibatkan semua Kementerian terkait, dan menunjuk Kementerian Hukum dan HAM sebagai perwakilan Pemeritah.
Contact Person:
Ariani Soekanwo (PPUA Penca_085780537865);
Aria Indrawati (Pertuni_081511478478);
Yeni Rosa Damayanti (Perhimpunan Jiwa Sehat_081282967011);
Maulani Rotinsulu (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia_08128253598);
Mahmud Fasa (FKPCTI_081808363744);
Tigor Hutapea (LBH Jakarta_081287296684); dan
Fajri Nursyamsi (PSHK_0818100917)