Dalam Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) 1969, advokat muda dan mantan jaksa, Adnan Buyung Nasution, menyampaikan gagasan mendirikan lembaga bantuan hukum (LBH) untuk membantu mereka yang miskin dan terampas haknya di bidang politik dan hukum.
Delapan tahun kemudian (1977), karena pengaruh para pengacara muda di Peradin, Peradin pun mendeklarasikan diri sebagai organisasi perjuangan.
Itu lompatan jauh ke depan karena organisasi profesi advokat di seluruh dunia biasanya dianggap hanya mementingkan klien dan honor besar.
Pada 1977 itulah, Peradin tegas memperingatkan anggota bahwa advokat adalah officium nobile (profesi terhormat).
Gagasan Adnan Buyung disambut hangat dan antusias oleh tokoh Peradin waktu itu, seperti Lukman Wiriadinata (Partai Sosialis Indonesia), Anwar Haryono (Partai Masyumi), dan Soenarto Soerodibroto (PNI).
Pada 28 Oktober 1970, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, DPP Peradin pun mengukuhkan berdirinya LBH.
Sejak itu, gemuruhlah dunia hukum Indonesia dengan banyaknya perkara dan gugatan yang diajukan LBH terhadap berbagai kasus pertanahan dan perburuhan yang menyangkut orang miskin.
Kebetulan LBH mendapat pasangan cocok, karena Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, ialah gubernur yang memahami warga miskin. Segera saja Ali Sadikin memberikan dana bulanan untuk LBH.
Dalam mukadimah, LBH menyatakan manusia adalah satu–tanpa membedakan asal usul, agama, keturunan, dan suku.
Mereka diikat dalam satu nasib untuk hidup layak, dilengkapi hak-hak sosial, politik, budaya, dan hukum.
LBH Jakarta bagaikan wabah segera menular ke seluruh Indonesia, dengan berdirinya LBH-LBH daerah.
Berbagai kasus struktural dan politik mengalir ke LBH, seperti Buku Putih Mahasiswa Indonesia (Dewan Mahasiswa UI, ITB, UGM, Undip, Unair, Unibraw, dan Unhas).
Pembelaan juga dilakukan bagi tokoh Pokja Petisi 50, termasuk Moch Nasir, HR Dharsono, Ali Sadikin, SK Trimurti, dan Hoegeng.
Ada pula kasus kawin paksa Syarifah Syifa yang mempercepat lahirnya UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
Dalam kasus-kasus yang diperjuangkan LBH, Adnan Buyung mengambil peranan sentral.
Pada usia senja, meskipun didera penyakit, Buyung yang oleh anak buahnya dipanggil Abang selalu menelepon ke sana-kemari meminta LBH terus diperhatikan dan dirawat.
Itu pula yang saya alami saat saya menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung, Jaksa Agung, maupun dubes.
Ia tidak segan menelepon ke Kopenhagen meminta pendapat mengenai perkembangan LBH.
Selamat jalan, Abang Buyung.
Mudah-mudahan amal baikmu untuk rakyat kecil dinilai Allah SWT sehingga membawamu ke surga.
Amin.