LBH Jakarta menyatakan duka cita yang amat mendalam atas meninggalnya Adnan Buyung Nasution pagi ini (23/9) pada usia 81 tahun. Buyung Nasution atau lebih akrab disapa “Bang Buyung” meninggalkan warisan krusial dalam sejarah hukum Indonesia dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 28 Oktober 1970 untuk kemudian mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang saat ini tercatat memiliki kantor di 15 (lima belas) kota di Indonesia: LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Palembang, LBH Padang, LBH Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Surabaya, LBH Malang, LBH Yogyakarta, LBH Bali, LBH Makassar, LBH Manado, dan LBH Papua (dulu LBH Jayapura).
Buyung Nasution mengalami peristiwa diskriminasi sebagai inlander (orang Indonesia) saat tahun 1950-an di gedung Societet de Harmonie (sekarang gedung Sekretariat Negara RI) yang hanya dibuka untuk orang Belanda untuk hura-hura. Saat itu ia melihat plang besar bertuliskan “Verboden voor Honden en Inlanders” yang artinya “Dilarang masuk untuk anjing dan orang pribumi” yang menyamakan orang Indonesia dengan anjing. Ayahnya lalu berpesan agar Buyung memperjuangkan hak dan martabat bangsa.
Masuk jaksa pada 1960, Buyung ditugaskan di daerah dan melihat bahwa rakyat kecil tidak memiliki pembela saat dituntut oleh dirinya sebagai jaksa. Tak tahan melihat ketidakadilan itu, ia kemudian keluar dan banting setir menjadi advokat muda dan menggagas pembentukan LBH lewat kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) tahun 1969. Saat Peristiwa Malari meletus pada 1974 LBH dinilai berbahaya oleh Jenderal Soeharto dan Buyung ditahan tanpa alasan yang jelas. Selanjutnya, LBH menjadi meeting of mind gerakan prodemokrasi. Semua gerakan radikal melawan rezim otoriter Orde Baru di zaman-zaman itu bermuara di kantor LBH.
Mulai dari pendirian hingga sekarang, Buyung Nasution selalu memperhatikan LBH, termasuk dalam hal-hal kecil.
“Kami sangat kehilangan Bang Buyung. Pada saat memberikan materi di Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) LBH Jakarta tahun 2013 Abang masih memberikan materi dengan berapi-api meskipun nafasnya menjadi tersengal-sengal. Saat sepeda motor Pengacara Publik hilang beliau juga menyatakan “Abang sangat sedih” dan kemudian memberikan bantuan” ujar Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta.
Secara tidak langsung, pembentukan dan kerja-kerja LBH inilah yang juga menginspirasi banyak sarjana hukum Indonesia yang memutuskan menjadi pengabdi bantuan hukum. Dari yang tadinya bisa hidup berlimpah uang, mereka meneguhkan diri membela rakyat yang miskin, buta hukum, dan tertindas. Selepas dari LBH para pengabdi bantuan hukum tersebut berdiaspora membentuk berbagai organisasi seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Corruption Watch (ICW), Imparsial, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), dan banyak lagi.
Bantuan Hukum Struktural (BHS), sebagai ideologi yang LBH jalankan sehari-hari juga berbeda dengan bantuan hukum yang lembaga bantuan hukum lain lakukan. Jika lembaga bantuan hukum lain lebih bersifat charity atau kedermawanan, BHS yang LBH lakukan memadukan ikhtiar pemberdayaan masyarakat, pendampingan atau pembelaan di pengadilan (litigasi), dan advokasi kebijakan publik, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dari struktur masyarakat yang timpang (kaya-miskin, kuat-lemah) menjadi lebih berkeadilan dan menghormati
nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM).
Selamat jalan, Abang! Kami akan meneruskan perjuanganmu!
Jakarta, 23 September 2015
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung: Alghiffari Aqsa (081280666410)