Jakarta, bantuanhukum.or.id—Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mempublikasikan penelitiannya yang bertajuk, “Kami Terusir: Laporan Penggusuran Paksa DKI Jakarta Januari-Agustus 2015”. Publikasi penelitian ini digelar di Gedung LBH Jakarta, Rabu 26/08/15 dan dihadiri oleh rekan-rekan jurnalis dari berbagai macam media. Publikasi ini dilakukan LBH Jakarta karena dari 30 kasus penggusuran paksa yang dilakukan oleh Pemprov DKI sejak Januari-Agustus 2015 telah menyebabkan 3433 KK menjadi korban.
Penelitian ini disajikan oleh Atika Yuanita dan Alldo Fellix selaku Pengacara Publik LBH Jakarta. Penelitian LBH Jakarta ini memaparkan beberapa kategori yang ternyata menyebabkan timbulnya pelanggaran terhadap hak warga terdampak pelanggaran HAM. Dalam pemaparan penelitian ini disebutkan bahwa Pemprov DKI Jakarta merupakan pelaku terbanyak penggusuran paksa. Bukan hanya itu, hal mengejutkan lainnya adalah sebanyak 50% kasus-kasus penggusuran paksa meninggalkan warga dalam keadaan tanpa solusi sama sekali.
LBH Jakarta pun mengungkapkan bahwa penggusuran-penggusuran yang marak dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sepanjang tahun 2015 ini belum memenuhi standar HAM. Atika Yuanita ketika menyajikan laporan penelitian ini mengungkapkan 26 kasus penggusuran paksa dilakukan tanpa musyawarah sama sekali. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Ekosob yang telah diratifikasi ke UU No. 11 Tahun 2005.
Penggusuran paksa yang kerap dilakukan oleh Pemprov DKI pun kerap melibatkan aparat TNI dan Polri, hal tersebut tentunya melahirkan bentuk pelanggaran lainnya. Merujuk pada UU TNI dan Polri, wewenang TNI dan Polri terlibat dalam penertiban dalam kasus-kasus penggusuran paksa tidak dapat dibenarkan. Menurut Alldo, “kehadiran TNI dalam penggusuran paksa tentu melanggar kewenangannya karena kita tidak sedang berperang dengan negara lain, tetapi kita sedang melakukan pembangunan kota. Selanjutnya warga dalam penggusuran paksa merupakan korban karena rumahnya dirusak, mungkin ada yang luka-luka, dan tidak ada kompensasi, Polri hadir justru mendukung pelanggaran ham tersebut, bukannya menegakkan hukum, jadi kehadiran TNI dan Polri dalam penggusuran paksa perlu dipertanyakan,” katanya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, LBH Jakarta menganjurkan Pemprov DKI Jakarta agar mengadopsi standar-standar HAM tentang penggusuran. Hal tersebut sangat penting untuk menjaga hak warga terutama kehidupan masyarakat korban penggusuran tetap terjaga.
“Pemerintah harus menyiapkan prosedur penggusuran yang sesuai dengan standar Internasional hak asasi manusia, artinya harus ada musyawarah yang tulus antara kedua belah pihak, harus ada informasi yang cukup, serta dipikirkan kompensasi dan rehabilitasi yang cukup bagi warga masyarakat,” jelas Atika Yuanita seraya menutup acara.