Jakarta, bantuanhukum.or.id – LBH Jakarta selenggarakan acara berbagi pengalaman dari 2 pengacara publiknya yang baru saja memberikan bantuan hukum selama 1 tahun di Myanmar dan Thailand. Maruli dan Ade pengacara publik LBH Jakarta yang baru saja kembali dari pengembaraannya di Myanmar dan Thailand. Mereka berdua banyak bercerita tentang migrant worker, junta militer, dan kebebasan berekspresi di Thailand dan Myanmar. Acara tersebut diselenggarakan di Gedung LBH Jakarta, 11 Agustus 2015 yang lalu.
Peserta forum diskusi terdiri atas Pengacara Publik, Asisten Pengacara Publik, dan Staff Umum LBH Jakarta. Para peserta yang hadir terlihat sangat antusias dengan pemaparan dari Maruli dan Ade. Dalam kesempatan ini, Ade yang baru saja kembali dari Thailand banyak bercerita mengenai kehidupan pekerja migran yang sangat memprihatinkan di Thailand. Sementara Maruli, banyak bercerita tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang masih terpasung di Myanmar.
Ade yang mendapat kesempatan pertama untuk bercerita langsung menceritakan tantangan bagi para pekerja migrant di Thailand yang datang dari junta militer yang mengkudeta pemerintahan Thailand. Kebijakan yang di terapkan pemerintah Thailand adalah mendeportasi seluruh pekerja migran yang tidak memiliki dokumen-dokumen resmi. Permasalahan yang terjadi adalah, kebanyakan pekerja migran di Thailand tidak memiliki dokumen-dokumen yang resmi.
Aparat di Thailand menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para pekerja migran, hal tersebut dikarenakan sanksi deportasi yang ditetapkan oleh pemerintah Thailand. Selain itu, rata-rata para pekerja migran di Thailand memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, sehingga mereka kerap kali menjadi bulan-bulanan aparat ketika tertangkap. Masih sangat jarang para pekerja migran yang mendapatkan bantuan hukum ketika mereka sedang berhadapan dengan hukum.
“Permasalahan migrant worker berawal ketika mereka dinyatakan memiliki dokumen resmi untuk bekerja di luar negeri, kemudian ketika sampai di Thailand passport mereka diambil oleh aparat di Thailand. Akhirnya ketika mulai bekerja mereka sering mendapatkan tekanan, digaji murah, dan akhirnya banyak migrant worker yang melarikan diri, menjadi undocument,” jelas Ade.
Dalam kondisi terasing tersebut, para pekerja migran di Thailand tersebut kemudian melahirkan permasalahan baru. Hal ini adalah imbas dari peraturan yang represif dari pemerintah Thailand sendiri.
“Keinginan untuk kembali ke negara asal sangat besar namun keterbatasan ekonomi yang menghambat, akhirnya mereka memutuskan untuk bekerja dengan gaji kecil selama beberapa tahun, selama itupun mereka bersosialisasi dengan penduduk sekitar, kemudian menikah dan punya anak, masalah baru muncul ketika anak tersebut menjadi undocumented dan tidak ada yang bertanggung jawab,” tambah Ade.
Lain halnya dengan di Myanmar, Maruli mengatakan bahwa kebebasan berekspresi sangat dibatasi dan menjadi suatu hal yang sensitif di Myanmar. Hal tersebut dikarenakan mantan Penguasa Myanmar, Jenderal Ne Win (Alm) adalah orang yang sangat berkuasa dan banyak memiliki perusahaan.
“Lebih miris lagi internet baru-baru ini dapat diakses oleh masyrakat, bahkan untuk di wilayah Rakhine pasokan listrik hanya 4 jam dalam satu hari. Upah standar buruh di Myanmar hanya sebesar $ 100, ini yang membuat saya terkejut gaji hanya $100 dengan pengeluaran untuk besar salah satunya biaya sewa apartemen sebesar $ 800 yang jauh dari upah buruh tapi mampu bertahan hidup, bahkan pengusaha disana menilai bahwa upah $100 masih dirasa tinggi”, tutur Maruli.
“Tiap daerah perbatasan di Myanmar memiliki tentara sendiri dan sering berperang dengan tentara Myanmar, mereka berperang sangat profesional dengan tidak menyerang tempat-tempat yang dianggap vital dan ada medan khusus untuk berperang” tutur Maruli.
Maruli mengatakan bahwa KUHAP Myanmar lebih bagus daripada KUHAP Indonesia namun pelaksanaannya saja yang masih buruk dan di Myanmar tidak ada yang mengawasi pemerintahnya seperti Ombudsman di indonesia. Pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia masih sangat sensitif terkait kebebasan berekspresi, suprastruktur politik dibawah kendali pemerintah seperti halnya hakim yang diangkat oleh pemerintah yang kemudian untuk mengkritik akan sulit dan kondisi dipengadilanpun buruk dengan tidak diperbolehkan untuk mengambil foto, merekam video, hanya diperbolehkan menulis, infrastruktur pengadilanpun buruk.
“Baik di Thailand maupun di Myanmar pada dasarnya masyarakat mendukung terwujudnya Undang-Undang Bantuan Hukum dan program pertukaran lawyer dengan negara lain perlu didukung karena dapat meneruskan perjuangan pengabdi bantuan hukum sebelumnya dalam mereformasi aspek politik, hukum, militer, peradilan, dan ekonomi, serta peningkatan kapasitas bagi profesi hukum danaktifis HAM,” ungkap Maruli.