Jakarta, bantuanhukum.or.id—Kamis 6 Agustus 2015, Jaringan Buruh Migran mengadakan diskusi tematik terkait Sanksi dan Bantuan Hukum, yang berjudul “ Merumuskan masalah dan solusi dalam hal sanksi dan bantuan hukum dalam rangka perlindungan buruh migran “. Diskusi ini dimulai pada pukul 10.00 dengan difasilitasi oleh Asfinawati yang merupakan pegiat isu buruh migran. Peserta yang hadir dalam diskusi ini adalah prganisasi yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran, antara lain SBMI, Migrant Care, JBMI, Pena HAM, LBH FAS, LBH Apik Jakarta dan LBH Jakarta. ATKI juga hadir dalam diskusi ini sebagai peserta yang memberikan banyak informasi tentang kondisi buruh migran Indonesia yang berhadapan dengan hukum.
Diskusi dibuka dengan pemaparan kasus yang ditangani oleh SBMI, dimana hingga 2014, telah terjadi 324 Kasus, namun hanya kasus trafficking yang dapat diproses hingga litigasi. Diluar kasus trafficking, kasus-kasus buruh migran hanya diselesaikan di tahap pra penuntutan. Kemudian ada permasalahan lainnya, yaitu terkait pencairan depositi di Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia ( PJTKI), dimana masih terjadi kesimpangsiuran terhadap hal tersebut, bahkan peran– peran Kedutaan dan Konsulat di Negara penerima yang kurang signifikan dalam membantu para Buruh Migran dalam mencari keadilannya.
Setelah menjelaskan permasalahan di lapangan, kemudian masuk kedalam inti diskusi, yaitu sanksi dan bantuan hukum untuk perlindungan buruh migran. Mba Asfinawati memaparkan poin-poin permasalahan dalam sanksi dan bantuan hukum dalam rangka perlindungan buruh migran, diantaranya, adanya kesamaan pengaturan jenis delik di dalam Undang Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Undang Undang No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, hal ini harus diselesaikan agar tidak terjadi standar ganda dalam penanganan kasus terkait perlindungan buruh migran, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi buruh migran yang menjadi korban.
Disamping masalah sanksi, hal yang harus dipastikan adalah bagaimana mekanisme pemberian bantuan hukum kepada buruh migra karena selama ini pemberian bantuan hukum terkendala oleh regulasi yang ada. Akibatnya, hanya kasus-kasus yang terjadi di negara penempatan yang mendapat bantuan hukum, padahal proses migrasi terjadi sejak pra penempatan (perekrutan, pendidikan, dll) yang dimungkinkan terjadi permasalahan disana. Indonesia juga sudah memiliki UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang seharusnya dapat disinergiskan dengan pemberian bantuan hukum untuk buruh migran agar bisa memudahkan buruh migran dalam mencari keadilan.
Pada Desember 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan resmi dibuka. Kondisi memunculkan tantangan baru untuk menciptakan migrasi yang aman. Oleh karena itu, regulasi bilateral yang kurang efektif dalam menyelesaikan permasalahan buruh migran harus ditingkatkan agar pekerja migran yang ada di ASEAN dapat terlindungin hak haknya.
Acara ini ditutup dengan merumuskan rekomendasi untuk memperbaiki perumusan sanksi dan pemenuhan bantuan hukum yang efektif bagi buruh migran. (RR)