Yangon, bantuanhukum.or.id—Minggu, 14 Juni 2015, LBH Jakarta menghadiri kegiatan yang bertajuk Konsultasi tentang Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum (Legal Aid Bill Consultation Workshop) di Yangon, Myanmar. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh U Kyaw Myint Lawfirm, Yangon Justice Center, Myanmar Legal Aid Network, and Pyoe Pin. Konsultasi tersebut menghadirkan ratusan perwakilan masyarakat sipil Myanmar, pengacara, dan perwakilan organisasi internasional.
Pada Konsultasi tersebut, Direktur LBH Jakarta, F. Yonesta, berkesempatan untuk mempresentasikan pengalaman Indonesia dalam mengadvokasi Undang-Undang Bantuan Hukum. Yonesta menyatakan “meskipun Undang-Undang Bantuan Hukum Indonesia tidak sempurna, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut merupakan suatu bentuk kemajuan untuk mewujudkan akses terhadap keadilan.” Yonesta menegaskan pentingnya advokasi untuk terus memperbaiki undang-undang bantuan hukum. “Jangan sampai Pemerintah memiliki alasan untuk menghindari kewajibannya, tidak kunjung mengesahkan undang-undang bantuan hukum, dengan alasan bahwa rancangan undang-undang tersebut belum sempurna”.
Sebagai negara yang sedang melakukan perubahan, pemerintah Myanmar saat ini sedang membuka peluang partisipasi masyarakat sipil untuk merancang undang-undang bantuan hukum. Perdebatan diantara masyarakat sipil terjadi karena adanya kekhawatiran bahwa undang-undang ini akan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap organisasi masyarakat sipil yang selama ini memberikan bantuan hukum. Hal ini terlihat dari pasal yang mengatur didirikannya Pengurus Bantuan Hukum dari tingkat nasional sampai tingkat kelurahan yang berisi perwakilan dari anggota parlemen dan pemerintah.
Atas dasar itu, forum konsultasi merekomendasikan agar Pengurus Bantuan Hukum sebaiknya bersifat independen dan hanya didirikan di tingkat nasional dan provinsi. Selain itu, ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa undang-undang tersebut hanya mengatur organisasi penerima anggaran bantuan hukum negara, harus dimasukan ke dalam rancangan.
Di dalam rancangan undang-undang, terlihat bahwa skema bantuan hukum Myanmar lebih menitik beratkan pada kasus-kasus pidana. Dan penerima bantuan hukum dibatasi hanya kepada orang miskin, anak-anak, dan orang-orang dengan disabilitas. Sementara itu, para peserta konsultasi merekomendasikan agar penerima bantuan hukum diperluas kepada kelompok yang termarjinalkan.
Keesokan harinya, LBH Jakarta bersama beberapa pengacara dari negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Southeast Asian Legal Aid Network (SEALAW), melakukan audiensi dengan beberapa anggota parlemen Myanmar di ibu kota Naypyitaw. Para anggota parlemen menyambut baik rekomendasi forum konsultasi dan berjanji untuk mendiskusikannya di dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang.
Satu hari sebelum konsultasi, LBH Jakarta berkesempatan mengunjungi Yangon Justice Center (YJC). Sebuah organisasi yang didirikan untuk melakukan kerja-kerja bantuan hukum, mirip dengan kantor-kantor LBH di Indonesia. Perbedaannya, untuk saat ini YJC masih fokus pada pembelaan pidana yang dilakukan oleh sekitar, Pengacara dengan bantuan, Paralegal. Selain di Yangon, cabang kantor Justice Center juga didirikan di kota-kota lainnya dengan fokus kerja yang kurang lebih sama dengan YJC. (FY)