Saya sangat prihatin dengan pemberitaan Kompas cetak edisi 13 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul “Keprihatinan atas Imigran Gelap”.
Pasalnya, penggunaan istilah “imigran gelap” sangat tidak tepat digunakan untuk menyebut para pencari suaka atau pengungsi Internasional, baik yang berasal dari Myanmar atau negara asal lainnya. Sebaliknya, istilah tersebut merupakan stigma negatif yang memberi dampak buruk bagi mereka.
Perlu diketahui, sesuai pengertian pasal 1 Konvensi Pengungsi 1951, Pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa meninggalkan negara asalnya karena adanya persekusi yang dilatabelakangi ras, agama, suku-bangsa, pandangan politik, atau keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Mereka berharap bisa mendapatkan perlindungan internasional dari negara lain, yang mana tidak mereka dapatkan di negara asalnya. Sedangkan istilah pencari suaka, dikenakan kepada orang-orang yang status pengungsinya belum diverifikasi.
Selama dalam perjalanan, pencari suaka atau pengungsi menghadapi berbagai risiko yang tidak kecil. Baik risiko yang berasal dari tantangan alam, maupun risiko untuk dieksploitasi dan menjadi korban perdagangan manusia. Belum lagi risiko mendapatkan perlakuan buruk dari negara dimana mereka transit ataupun negara tujuan.
Stigma negatif “imigran gelap” membuat mereka diperlakukan seperti para pelanggar ketentuan keimigrasian pada umumnya. Tindakan keimigrasian seperti pendetensian tanpa akses kepada layanan kesehatan, pendidikan, hak-hak dasar lainnya, bahkan deportasi menjadi perlakuan yang kerap mereka terima. Meskipun deportasi merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip non-refoulement sebagaimana diatur dalam Konvensi Pengungsi.
Stigma negatif “imigran gelap” pun telah mendorong prasangka buruk di kalangan masyarakat umum, yang memandang pencari suaka atau pengungsi sebagai beban dan sumber kerawanan sosial. Stigma tersebut telah menjauhkan perspektif hak asasi manusia dalam penanganan masalah pencari suaka atau pengungsi, dan menjauhkan persepsi yang memandang bahwa mereka adalah korban persekusi yang semestinya memperoleh pertolongan kemanusiaan dari Negara dan masyarakat.
Tidak sepatutnya, para pencari suaka atau pengungsi mengalami perlakuan buruk semacam itu, akibat dari stigma negatif “imigran gelap” yang dilekatkan kepada mereka. Terlebih stigma tersebut seolah dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian. Hal ini semata-mata dikarenakan oleh Undang-Undang keimigrasian Indonesia yang belum menjangkau pengaturan masalah pencari suaka atau pengungsi, sementara Peraturan Presiden yang dimandatkan oleh Undang-Undang Hubungan Luar Negeri mengenai hal ini, tidak kunjung dibentuk. Kondisi ini diperparah dengan pemberitaan media massa yang kerap menggunakan istilah yang sama untuk memberitakan pencari suaka atau pengungsi.
Sudah saatnya media massa seperti Kompas, yang selama ini menjadi rujukan terpercaya pemerintah dan masyarakat, tidak lagi menggunakan istilah “imigran gelap” dalam pemberitaannya, demi melindungi para korban persekusi yang mencari suaka dan mengungsi, dari perlakuan buruk yang diakibatkan oleh minimnya jaminan hukum, kebijakan Negara, dan stigma negatif “imigran gelap” yang terus dilekatkan kepada mereka.
Febionesta
Anggota Jaringan SUAKA
Bekerja di LBH Jakarta, Jl. Diponegoro 74 Jakarta
Bertempat tinggal di Jl. Pancasan Atas 108 Bogor
087870636308
[email protected]
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]