Aksi Global untuk Akses ke Papua dilakukan di 20 kota di dunia
Organisasi-‐organisasi yang bertanda tangan di bawah ini serta semua pihak yang memiliki perhatian yang dalam atas ketiadaan ruang kebebasan dan keterbukaan akses di Papua bagi jurnalis internasional, organisasi kemanusiaan dan pemerhati hak asasi manusia meminta Presiden RI untuk segera membuka akses informasi dan kemanusiaan bagi Papua. Blokade media di Papua telah memberangus hak orang-orang Papua untuk didengar suaranya dan membuka ruang pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang berlangsung tanpa tindakan penghukuman.
Lebih dari 50 tahun, akses untuk jurnalis asing dalam melaporkan situasi di Papua sangat terbatas. Mereka yang datang ke Papua dengan menggunakan visa turis dideportasi, ditangkap bahkan dipenjara. Tahun lalu, dua orang jurnalis Prancis telah dihukum selama 11 minggu dalam tahanan atas dakwaaan pelanggaran imigrasi. Berdasarkan informasi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua, dalam beberapa tahun terakhir ini, jurnalis dari Republik Ceko, Prancis dan Belanda telah dideportasi karena melaporkan situasi politik damai di Papua.
Di Papua, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis lokal dan nasional beresiko tinggi. Pada 30 Juli 2010, seorang jurnalis, Ardiansyah Matra ditemukan meninggal dunia setelah menerima ancaman yang berulang dari militer ketika ia melakukan investigasi pembalakan hutan. Pada 24 Agustus 2010, Musa Kondorura dari radio 68H telah diserang oleh dua orang agen Badan Intelijen Negara (BIN). Pada 3 Maret 2011, Banjir Ambarita, seorang jurnalis dari Jakarta Globe dan Bintang Papua telah diserang dan ditikam setelah melaporkan seorang polisi yang melakukan pemerkosaan dan menyebabkan Kapolresta Papua Imam Setiawan mengundurkan diri. Pada 2011, AJI mencatat 7 buah kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. Pada 2012 kasus yang terjadi meningkat menjadi 12 peristiwa. Pada Juli 2013, rumah seorang jurnalis dari Majalah Selangkah, sebuah media independen online telah digerebek dan digeledah oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Laporan yang terus berlanjut atas terjadinya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, termasuk tindakan penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembunuhan, penganiayaan dan tindakan merendahkan martabat, penggunaan kekuatan secara berlebihan dan penahanan sewenang-wenang terhadap orang-orang Papua oleh aparat keamanan Indonesia. Pada Agustus tahun lalu, seorang aktivis dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) telah diculik, disiksa, dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai. Tidak ada penyelidikan dari polisi dan hanya beberapa media mempublikasi hal ini. Bulan lalu, setidaknya 6 orang ditembak dan 21 orang lainnya ditangkap oleh aparat di Polda Papua dan Brimob di Yahukimo. Obang Sengenil, seorang kepada desa berusia 48 tahun meninggal karena luka tembak. Meskipun pelanggaran HAM yang meluas telah secara reguler dicatat dan dilaporkan oleh kelompok HAM di Papua, informasi seperti ini jarang diangkat oleh media pada umumnya.
Secara defakto, pelarangan jurnalis internasional, LSM dan organisasi kemanusiaan berkontribusi terhadap isolasi kepada jurnalis di Papua dan menyebabkan penyelidikan independen dan pembuktian hampir tidak mungkin dilakukan. Blokade terhadap media ini membuat mereka terus bertindak tanpa ada penghukuman.
Selama bertahun-tahun, organisasi kemanusiaan internasional dan organisasi swadaya masyarakat telah ditekan untuk menutup kantor dan meninggalkan Papua. Hal ini membatasi orang-orang Papua untuk mengakses dukungan penting dan sumber daya untuk pembangunan, kesehatan dan pendidikan. Kegagalan pemerintah daerah untuk secara efektif menyikapi penyebaran HIV/AIDS di Papua hanyalah salah satu contoh bagaimana pembatasan terhadap akses tersebut tidak hanya tindakan represif tetapi juga terbukti mematikan, khususnya kepada populasi masyarakat adat.
Akses untuk pemantau PBB telah tertutup selama 8 tahun. Pada Mei 2012, pemerintah Indonesia menerima rekomendasi dari Peninjauan Berkala Universal untuk mengundang Pelapor Khusus PBB untuk bidang Kebebasan Berekspresi. Kunjungan Frank La Rue (mantan Pelapor Khusus PBB untuk bidang Kebebsasan Berekspresi) telah dijadwalkan pada Januari 2013. Namun, rencana kunjungan tersebut dibatalkan secara sepihak dan ditunda tanpa batas waktu oleh pemerintah Indonesia, diduga karena Pelapor Khusus PBB bermaksud untuk berkunjung ke Papua dan Maluku diantara wilayah lainnya.
Jurnalis dan lembaga organisasi HAM internasional yang bermaksud untuk mengunjungi Papua saat ini disyaratkan untuk menjalani proses visa ketat yang melibatkan persetujuan dari 18 instansi pemerintah yang berbeda-‐beda yang dikenal dengan Komite Clearing House. Sangat birokratis dan menyita waktu serta menghalangi para jurnalis yang berusaha untuk berkunjung Papua atau memaksa mereka untuk memilih menggunakan visa turis. Pelibatan lembaga seperti BIN dalam proses seleksi mensiratkan pertanyaan: Apa yang disembunyikan Indonesia di Papua?
Akses untuk jurnalis, lembaga kemanusiaan dan pemantau hak asasi manusia sering ditolak atau dibatasi dengan alasan keamanan. Aparat pemerintah menyatakan bahwa prioritas mereka adalah melindungi orang-‐orang asing dari kelompok pemberontak bersenjata yang berbahaya. Kami menyadari bahwa jurnalis yang bekerja di wilayah konflik memiliki resiko tinggi. Sebagai jurnalis mereka memahami resiko dalam menjalankan tugas mereka sebagai saksi dan menyampaikan cerita dari orang-‐orang yang menghadapi kekerasan dan ketidakadilan serta upaya mereka untuk mengamankan perdamaian dan keadilan.
Dalam masa kampanye pada Juni tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa tidak ada yang disembunyikan di Papua dan berjanji untuk membuka wilayah ini. Kebebasan dan keterbukaan akses untuk Papua bagi jurnalis, organisasi kemanusiaan dan organisasi HAM internasional akan melayani upaya untuk mendorong perlindungan dan penghormatan terhadap HAM bagi orang Papua dan bagi semua orang yang menyebut tanah Papua adalah rumah mereka. Penghentian terhadap pembatasan akses untuk Papua tidak hanya sesuai dengan kewajiban internasional pemerintah Indonesia tetapi juga akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang demokratis.
Oleh karenanya kami meminta pemerintah Indonesia untuk:
- Menghentikan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di Papua, melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan kekerasan dan membawa pelaku yang terlibat dalam proses hukum.
- Menghapuskan semua pembatasan kunjungan oleh jurnalis asing ke Papua dan pembatasan kebebasan untuk membangun gerakan di dalam Papua, termasuk sistem pengajuan visa yang diseleksi oleh clearing house dari pemerintah.
- Menyediakan akses bagi organisasi kemanusiaan dan organisasi HAM internasional untuk menjalankan pekerjaan mereka tanpa ketakutan dari pembatasan dan dijamin sesuai dengan standar HAM internasional.
- Membuka ruang kebebasan dan akses pembatasan bagi semua pelapor khusus PBB yang bermaksud untuk berkunjung dan melaporkan situasi di Papua. Secara khusus, pemerintah Indonesia harus mengundang David Kaye, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Beropini, sebagaimana janji dalam Peninjauan Berkala Universal di Jenewa tahun 2012.
Solidaritas Papua, Jakarta dan Internasional ini adalah aksi global untuk mendorong akses ke Papua yang dilakukan serentak pada hari ini di 20 kota 10 negara di dunia. Surat resmi kepada Presiden juga diserahkan secara serentak, termasuk di Istana Negara sore ini.
Jakarta, 29 April 2015
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asia Justice and Rights (AJAR), ELSAM, HRWG, Imparsial, KontraS, LBH Jakarta, Papua itu Kita, Yayasan Pantau, Yayasan Satu Keadilan, YLBHI
TAPOL, Inggris; Aliansi Jurnalis Independen Papua (AJI Papua); Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP); Article 19; Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-‐ASIA); Asian Human Rights Commission, Hong Kong; Australia West Papua Association, Australia; Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Papua; Catherine Delahunty, Green MP, New Zealand; East Timor and Indonesia Action Network (ETAN), United States; Franciscans International, Switzerland; Free West Papua Campaign, United Kingdom; Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (JPIC GKI Papua); International Coalition for Papua (ICP); Jean Urqhart, Independent MSP, United Kingdom; Jeremy Corbyn, Labour MP, United Kingdom; John Finnie, Independent MSP, United Kingdom; Koalisi untuk Penegakan Hukum dan HAM Papua; Komisi untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan Papua (KontraS Papua); Kevin Stewart, SNP MSP, United Kingdom; Lembaga Studi dan Advokasi HAM Papua (ELSHAM Papua); Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua); Linda Fabiani SNP MSP, United Kingdom; Majalah Selangkah, Papua; Mike MacKenzie, SNP MSP, United Kingdom; Minority Rights Group International, United Kingdom; Pacific Media Centre, AUT University, New Zealand; Reporters Without Borders; Sekretariat Keadilan Perdamaianan dan Keutuhan Cipataan (SKPKC Fransiskan Papua); Sarah Boyak, Labour MSP, United Kingdom; Southeast Asian Press Alliance (SEAPA); Suara Papua, Papua ; Survival International; Tabloid Jubi Papua; Vivat International; Watch Indonesia! Germany; West Papua Action Auckland, New Zealand; West Papua Action Canterbury, New Zealand; West Papua Advocacy Team, United States; West Papua Netzwerk, Germany; Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP)