Nenek Asyani menyedot perhatian publik dan para pemangku kuasa di bidang hukum. Akankah bermunculan kasus serupa di kemudian hari?
Belum lama ini, Nenek Asyani resmi divonis bersalah karena mencuri tujuh batang kayu milik PT Perhutani, Situbondo Jawa Timur. Melihat keprihatinan itu, Pengacara Publik LBH Jakarta bagian Penelitian Revan Tambunan mengatakan, sebenarnya pidana itu bisa dihentikan melalui revisi dari KUHAP. Dengan demikian, proses penyelesaian sengketa pidana bisa diselesaikan di luar pengadilan.
“Dalam rancangan KUHAP sendiri, sebenarnya sudah ada mekanisme yang ditawarkan untuk penyelesaian sengketa pidana yang dilakukan oleh kelompok lansia. Mekanisme yang ditawarkan ini terletak pada unsur Penuntut Umum, yaitu Kejaksaan,” kata Revan dalam Media Briefing di LBH Jakarta, Jumat (24/04).
Di pasal 42 ayat (2) Rancangan KUHAP, disebutkan Penuntut Umum juga berwenang menghentikan penuntutan demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu. Lebih lanjut dalam pasal 42 (3), rancangan KUHAP mengatur soal ketentuannya.
“Kewenangan Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan apabila: tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan, tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, tindak pidana yang dilakukan hanya diancam pidana denda, umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 tahun, dan kerugian sudah diganti.”
Nenek Asyani merupakan satu di antara beberapa kasus lain yang menimpa lansia. Masih banyak kasus yang rata-rata berupa kasus pencurian di sekitar tempat tinggal lansia. Ada juga kasus Nenek Minah yang mencuri 3 kakao tahun 2009, kakek Busrin yang menebang mangrove pada 2014, dan Kakek Ngatmanu yang didakwa akibat melakukan pencurian 1 kg kedelai seharga Rp9.000.
Namun sampai saat ini, Revan menilai KUHAP tidak memiliki mekanisme penghentian penyidikan terhadap kasus yang didasarkan pada usia pelaku. Demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka perlu adanya perubahan hukum acara pengadilan dalam KUHAP. Dengan begitu, usia bisa dijadikan salah satu faktor penghentian penyidikan tindak pidana.
“Pada usia lansia, seseorang akan mengalami kemunduran fisik, psikologis, dan sosial. Oleh karena itu, penerapan hukum pidana seharusnya mempertimbangkan perlakuan khusus kepada mereka,” ungkapnya.
Rancangan tersebut sudah masuk ke dalam Proleknas tahun 2014-2019. Harapannya nanti, 2016 rancangan ini bisa masuk ke dalam proleknas perioritas dan bisa selesai pada 2017.
Satu hal yang perlu diperhatikan lagi, pendampingan terhadap terduga kasus pidana juga menjadi penting agar seluruh hak tersangka yang ada pada seseorang pelaku tindak pidana itu semua dipenuhi oleh aparat penegak hukum. Selain itu, ini berguna pula untuk kepentingan pembelaan beliau di setiap tingkat proses.
“Saat ini di KUHAP, pendampingan dilakukan bukan suatu kewajiban. Tentu kita tak ingin kalau hak mereka diabaikan oleh penegak hukum. Kami berharap agar di rancangan KUHAP baru, semua orang yang terkena dugaan kasus pidana harus didampingi selalu oleh hukum,” kata Revan. (majalahkartini.co.id)