Pelantikan Jenderal Badrodin Haiti sebagai Kapolri memberi secercah harapan bagi para aktivis antikorupsi. Mereka berharap Badrodin menuntaskan kasus-kasus kriminalisasi. Mereka juga berharap Badrodrin memulihkan kerjasama dengan KPK dalam pemberantasan korupsi.
“Kapolri kami minta menghidupkan kembali momentum reformasi di dalam tubuh Polri dan memulihkan kepercayaan publik dengan langkah yang nyata,” bunyi pernyataan Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (Taktis) di gedung LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (19/4/2015). Acara ini juga dihadiri oleh Bambang Widjojanto, pimpinan KPK nonaktif.
Sebagai simbol kriminalisasi, tim dan para narasumber dalam konferensi pers kali ini mengenakan replika borgol berwarna hitam yang dilalungkan di leher. Borgol itu kemudian dipatahkan sebagai dorongan untuk menghentikan upaya kriminalisasi.
“Kami patahkan borgol ini bersama-sama sebagai dukungan stop kriminalisasi,” kata Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta.
Febi menuturkan, sejak penangkapan mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh pihak kepolisian, upaya kriminalisasi terhadap pihak-pihak anti korupsi semakin massif. Taktis menyebut ada 42 orang yang menjadi korban kriminalisasi.
“Hingga saat ini kasus kriminalisasi terkait hal itu sudah mencapai 13 kasus dengan jumlah yang dikriminalisasi sebanyak 42 orang hanya dalam waktu 2 bulan,” ujarnya.
Kasus tersebut bermacam-macam, seperti kriminalisasi terhadap para mantan pimpinan KPK yang pada saat itu masih menjabat. Kemudian para pegawai KPK, hingga penyidiknya. Termasuk mantan hakim agung Komariah Emong yang menyebut Hakim Sarpin bodoh hingga Wamenkum HAM Denny Indrayana atas kasus dugaan korupsi dalam pengadaan payment gateway.
Anggota tim kuasa hukum yang juga anggota tim advokasi, Asfinawati mengatakan, kriminalisasi yang dilakukan oleh institusi Polri merupakan teror bagi pihak yang menjadi korban. Menurutnya, Polri tidak melaksanakan mekanisme hukum dengan benar.
“Mereka tentukan dulu orangnya baru ditetapkan pasalnya. Makanya pasalnya jadi berubah-ubah,” kata Asfin.
Selain itu, waktu penyelidikan dinilainya terlalu cepat. Jika biasanya penyelesaian kasus-kasus kriminal yang lain memakan waktu lama, tidak dengan kasus yang menurutnya objeknya telah dibidik itu.
“Kasusnya juga banyak yang tidak jelas,” ucap Asfin.
Bambang Widjojanto menyatakan, saat ini bahaya manifes kriminalisasi semakin menyebar di Indonesia. BW mengaku melihat sendiri banyaknya upaya kriminalisasi yang telah terjadi di daerah.
“Saya banyak mendengar di berbagai tempat di Indonesia ada kriminalisasi yang terjadi di masyarakat. Harusnya tidak ada lagi yang di luar hukum, atmosfer of fear mestinya tidak ada lagi. Sudah cukup kita 3 dekade mengalaminya,” terang BW.
BW mencontohkan kasus yang dilihatnya di Rembang, Jawa Tengah. Di sana ia bertemu warga dari berbagai kalangan seperti petani, mahasiswa dan tokoh masyarakat yang memperjuangkan tempat tinggal mereka agar tidak dibangun pabrik semen. Sebab pendirian pabrik itu akan menghancurkan tata air di Rembang.
“Hal itu menyuburkan kriminalisasi di daerah tersebut. PTUN dikalahkan karena masalah administratif, masalah sumber daya alam tidak menjadi bagian penting,” jelasnya.
Ia berharap dengan dilantiknya Kapolri baru, masalah-masalah tersebut dapat diredam. Sebab saat ini ada elemen masyarakat yang dianggap ahli yang menjadi pemerkuat sistem kekerasan. Namun juga ada kekuatan masyarakat seni yang terus bergerak yang mengekspresikan terkait permasalahan yang ada.
“Tindak kriminalisasi terkait apapun harus dihentikan,” tutupnya. (detik.com)