Jakarta, bantuanhukum.or.id – Dalam kesempatan kemarin, Kamis (9/4) sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Komite KuHAP) mengadakan media briefing terkait dengan persoalan peninjauan kembali yang selama ini terjadi. Media briefing ini dilakukan untuk kembali mengkampanyekan perubahan KUHAP lewat pembahasan RKUHAP di DPR RI serta respon atas berbagai permasalahan yang muncul dari aturan peninjauan kembali yang ada utamanya dalam SEMA No. 1 Tahun 2012 dan SEMA No. 7 Tahun 2014.
Hadir sebagai narasumber dalam media briefing tersebut, yaitu Robert Sidauruk dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Johanes Gea dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Arsil dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), yang dimoderatori oleh Erasmus Napitupulu dari ICJR.
Pada kesempatan tersebut Robert Sidauruk menyampaikan bahwa ada permasalahan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi peninjauan kembali hanya satu kali saja yang mana hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 yang membolehkan peninjauan kembali bisa dilakukan lebih dari satu selama adanya bukti baru (novum). “Mahkamah Agung memposisikan peninjauan kembali ini seperti hanya prosedur belaka dengan membatasi permohonan peninjauan kembali ini hanya dibatasi sebanyak satu kali, sehingga seolah-olah ini hanya permohonan administrasi prosedural”, terang Robert. Robet juga menegaskan bahwa kalau dilihat lihat betul peninjauan kembali itu dalam sejarahnya adalah sebagai jalan keluar praktek-praktek peradilan sesat yang marak terjadi.
LBH Jakarta sendiri memiliki pengalaman dalam rezim peninjauan kembali ini. Johanes Gea pada kesempatan tersebut menyampaikan bahwa LBH Jakarta saat ini sedang mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap perkara dugaan pembunuhan pengamen Cipulir. Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengatakan bahwa mereka tidak bisa menerima berkas permohonan peninjauan kembali yang disampaikan oleh kuasa hukum terdakwa karena berdasarkan SEMA No. 1 Tahun 2012, apabila terdakwa ingin mengajukan permohonan peninjauan kembali maka ia harus mengajukannya sendiri, jika tidak maka permohonan akan dinyatakan tidak dapat diterima. “Panitera pengadilan mengatakan bahwa kami lebih tunduk para peraturan SEMA atau PERMA daripada KUHAP,” jelas Gea. Gea mengatakan bahwa solusi yang diberikan akhirnya pihak Lembaga Pemasyarakatan (LP) harus memberikan surat keterangan yang menyatakan bahwa pemohon peninjauan kembali sedang berada dalam tahanan LP.
Arsil sendiri mengungkapkan bahwa sebenarnya peninjauan kembali di Indonesia itu begitu tinggi dikarenakan alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali yang diatur itu tidak terlalu jelas. Salah satu alasan peninjauan kembali tersebut adalah adanya kekhilafan hakim. Arsil menganggap bahwa alasan ini tidak begitu clear. Maksud dari alasan ini sebenarnya kita sebagai orang awam tanpa harus berpikir panjang dan rumit bisa menilai bahwa putusan yang dikeluarkan tersebut menunjukkan ada kekhilafan dan kekeliruan hakim. “Misalnya dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terpidana lima tahun tapi di dalam kurung ditulis tiga, mana yang benar”, ungkap Arsil. Lebih lanjut arsil menambahkan memang dalam rancangan KUHAP, alasan kekhilafan hakim ini sudah dihapuskan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Komite KUHAP memandang bahwa pengaturan peninjuan kembali harus didudukkan kembali pada alasan dasarnya dibentuk, yaitu karena adanya “peradilan sesat” atau kekeliruan yang nyata dalam proses peradilan pidana. Terlebih dalam peradilan pidana Indonesia yang menjadi salah satu akar timbulnya novum yang muncul justru di akhir perkara pidana. (Revan)