Jakarta, bantuanhukum.or.id—Sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melaunching Posko Pengaduan Anak, pada Minggu (22/03), di Gedung LBH Jakarta. Berdasarkan data penelitian LBH Jakarta tahun 2012, dari 100 responden anak yang menjadi tahanan di Lapas Anak Pria dan Lapas Anak Wanita di Tangerang serta Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur, anak yang tidak didampingi oleh penasehat hukum saat proses penangkapan sebanyak 91%, saat penggeledahan 85% serta 90% tidak didampingi dalam proses pemeriksaan di Kepolisidan dan 51 % ketika proses persidangan. Dari keseluruhan tersebut sebanyak 82% anak mengalami penyiksaan yang dilakukan saat proses penangkapan, 84% saat proses BAP dan 48% saat dilakukan penahanan.
Salah satu tujuan dari dibukanya posko ini adalah untuk memastikan penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum benar-benar berorientasi kepada kepentingan terbaik untuk anak. Yang kedua, menjadi sarana yang nyata untuk mengawasi, mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Selanjutnya adalah adanya jaringan advokasi yang berbasis korban khususnya untuk kasus fair trial serta sebagai wadah pengorganisasian dan pemberdayaan bagi korban maupun keluarga korban.
“LBH Jakarta juga akan membuka posko yang serupa di beberapa komunitas melalui sharing pengetahuan mengenai hak-hak anak dan hak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak”, terang Johanes Gea salah satu Pengacara Publik LBH Jakarta.
Melalui posko pengaduan ini juga nantinya akan ada satu buah penelitian yang komprehensif mengenai penerapan UU SPPA yang sudah resmi berlaku.
“UU SPPA memuat beberapa prosedur yang berbeda dengan proses peradilan pidana bagi orang dewasa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Beberapa hal yang paling mencolok dari undang-undang ini adalah diadakannya mekanisme Mediasi Penal dalam bentuk Diversi guna mencapai keadilan restoratif (restorative justice)”, ujar Ichsan Zikry Pengacara Publik bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta.
“Diversi sebagai bentuk Mediasi penal adalah suatu terobosan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, akan tetapi di sisi lain diversi juga membuka tantangan baru,” tambah Gea.
Praktek perdamaian dalam perkara pidana pada prinsipnya tidak dibenarkan, kecuali terhadap delik aduan. Filosofi hukum pidana sebagai hukum publik membawa konsekuensi bahwa pemidanaan pelaku kejahatan bukan hanya untuk kepentingan korban, tetapi kepentingan masyarakat luas. Namun, dalam realita penegakan hukum di Indonesia, seringkali suatu perkara “didamaikan” meskipun bukan masuk ke dalam kategori delik aduan.
Atas dasar alasan di atas, LBH Jakarta merasa perlu untuk ikut serta membangun sistem mediasi penal dalam proses peradilan anak sejak dini guna memastikan diversi menjadi sarana memperoleh keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan bukan menjadi wadah korupsi baru bagi oknum aparat penegak hukum dengan membuka posko pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum.