Gerakan horizontal yang melibatkan masyarakat indonesia non-papua penting dilakukan untuk mengedepankan isu-isu kekerasan terhadap perempuan papua. Selama ini, isu kekerasan di papua dikotakkan hanya di pulau tersebut sehingga menghalangi masyarakat indonesia mengenal permasalahan yang terjadi di papua.
“Belum ada sosialisasi mengenai isu Papua kepada masyarakat luas. Akibatnya, ada bias ketika mendiskusikan topik ini,” kata Zely Ariane dari gerakan Papua Itu Kita dalam acara dialog publik “Militerisasi dan Impunitas: Penyebab Situasi Kehidupan Perempuan Papua Makin Memburuk” di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jumat (13/3).
Zely, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (14/3), mengatakan bahwa harus segera diadakan sosialisasi isu Papua kepada masyarakat Indonesia, terutama para wartawan. “Pada bulan April, gerakan Papua Itu Kita akan mengadakan Pekan Papua. Salah satu kegiatannya adalah seminar untuk wartawan mengenai pengenalan isu Papua. Harapannya, dengan mendudukkan permasalahan yang terjadi, wartawan tidak akan bias dalam menyampaikan berita,” paparnya.
Data Elsham Papua periode 2012-2014 menyebutkan, terdapat 389 kasus kekerasan di Pulau Papua dengan rincian 234 orang tewas, 854 orang luka-luka, dan 880 orang ditangkap. Semuanya berdampak kepada kesejahteraan perempuan Papua.
Bentuk kurangnya pemahaman mengenai situasi tampak dari pemberitaan media massa tentang isu-isu kekerasan di Papua yang dilakukan oleh aparat keamanan dan militer. Kekerasan itu tidak jarang berujung pada penghilangan nyawa manusia. Umumnya, pemberitaan masih bersifat bias, yaitu menyalahkan korban kekerasan karena memiliki ideologi yang tidak sejalan dengan ideologi negara.
Tidak patut dibunuh
“Di negeri demokrasi seperti Indonesia, tidak patut seseorang dibunuh hanya karena perbedaan ideologi. Semestinya permasalahan ini bisa diselesaikan dengan cara damai,” tutur redaktur surat kabar The Jakarta Post, Ati Nurbaiti, yang hadir sebagai salah satu pembicara.
Kekerasan akibat keberadaan aparat militer di Papua berdampak besar kepada para perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Data lembaga swadaya masyarakat Elsham Papua menyebutkan, bentuk-bentuk kekerasan itu antara lain berupa pemerkosaan, penganiayaan, penahanan, dan penghilangan nyawa.
Zandra Mambrasar dari Elsham Papua memaparkan, bentuk kekerasan tidak langsung kepada perempuan Papua oleh aparat lebih tinggi daripada kekerasan langsung. Perempuan teraniaya secara emosional dan psikis akibat suami dan anak laki-laki mereka ditangkap atau dibunuh. Di samping itu, mereka harus menjadi tulang punggung keluarga, sementara lahan mereka berkebun dibabat habis dan hasil kebunnya dirusak. Hal itu berujung kepada peletakan perempuan Papua di dalam lingkaran kemiskinan.
Menurut Yones Douw, Koordinator Monitoring dan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia dari Departemen Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi di Tanah Papua, para korban kekerasan dibantu oleh organisasi-organisasi masyarakat, seperti gereja. Akan tetapi, keterbatasan sarana dan dana membuat rehabilitasi tidak mencapai target. “Keberadaan negara amat penting untuk memulihkan para korban. Ini tanggung jawab negara untuk membuat rakyat percaya kembali kepada mereka,” ujarnya. (Laraswati Ariadne Anwar/kompas.com)