Catatan Akhir Tahun (CATAHU) LBH Jakarta 2014
Jakarta, 23 Desember 2014 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta kembali meluncurkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU). Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, setiap tahun LBH Jakarta selalu mengeluarkan catatan akhir tahun sebagai bagian dari tanggung jawab kepada masyarakat sehubungan dengan kinerja LBH Jakarta selama satu tahun. Dalam peluncuran CATAHU tahun ini, LBH Jakarta mengambil tema “Rule of Law atau Rule by Law?”.
Peluncuran CATAHU LBH Jakarta tahun ini menampilkan presentasi kinerja LBH Jakarta sepanjang tahun 2014. Presentasi tentang kinerja LBH Jakarta sepanjang tahun 2014 ini dibawakan oleh Pratiwi Febry, Kepala Bidang Penelitian dan Dokumentasi Bantuan Hukum LBH Jakarta.
Dari data yang dipresentasikan pada CATAHU tahun ini, menunjukkan bahwa selama tahun 2014, LBH Jakarta telah menerima 1221 kasus dimana 1053 kasus diantaranya adalah kasus individu dan 168 lainnya adalah kasus kelompok. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kasus yang masuk ke LBH Jakarta sepanjang 5 (lima) tahun terakhir. Dari 1221 kasus yang masuk ke LBH Jakarta, tercatat 14% ditangani lebih lanjut oleh LBH Jakarta melalui pendampingan, sedangkan 86% nya ditangani dengan pemberian konsultasi hukum dan tindakan ringan berupa konsultasi hukum, korespondensi atau tindakan ringan lainnya. Pendampingan pemeriksaan pidana di tahun ini meningkat 500% dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan LBH Jakarta memiliki Criminal Defense Lawyer (CDL) -5 orang Pengacara Publik dan 8 orang Asisten Pengacara Publik-.
Selain itu pada presentasi, data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2014, ternyata telah terjadi peningkatan jumlah kasus perburuhan khususnya kasus yang terkait dengan hubungan kerja yang berjumlah 24253 pengaduan. Terkait dengan jumlah ini, pada presentasinya Pratiwi Febry menyatakan bahwa tren sepanjang tahun semenjak LBH Jakarta berdiri kasus yang melibatkan perburuhan khususnya pada pelanggaran hak normatif buruh selalu meningkat sepanjang tahun. “Semenjak negara ini ada dan lahirnya LBH Jakarta hingga saat ini, kasus pelanggaran terhadap hak normatif pekerja selalu meningkat setiap tahunnya”, jelas Tiwi.
Setelah presentasi acara kemudian dilanjutkan dengan tanggapan dari penanggap. Penanggap pada peluncuran CATAHU kali ini adalah Dadang Trisasongko, Direktur Transparency International Indonesia (TII) yang juga merupakan alumni dari LBH Surabaya dan Roichatul Aswida, komisioner Komnas HAM. Dalam tanggapannya, Dadang Trisasongko menyoroti korupsi yang terjadi pada praktik peradilan di Indonesia. Political Corruption dan penyalahgunaan wewenang menjadi hal yang mengakibatkan: (1) integritas lembaga hukum sangat lemah sehingga tidak mampu melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) warga negaranya, (2) terjadinya pelanggaran HAM berlapis. Penyalahgunaan perijinan merupakan salah satu bentuk praktik yang marak terjadi di lapangan. Melawan korupsi di segala lini kehidupan, kesadaran inilah yang harus semakin mendarah daging di masyarakat Indonesia. Dadang Trisasongko pun menyatakan bahwa LBH Jakarta sebagai lembaga advokasi harus semakin memperbaiki kinerja dan menentukan strategi atau pendekatan yang lebih strategis hari ini. Karena “musuh” yang dihadapi hari ini pun semakin baik konsolidasi dan strateginya.
Selanjutnya memperkaya Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta, Roichatul mencoba membuka refleksi HAM dengan mengutip lirik lagu yang dibawakan oleh kelompok anak Trungtung Band, “Pancasila..Pancasila..Pancasila..jati diriku!” Pemenuhan HAM dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya tercermin dari sila ke-5 sedangkan pemenuhan hak sipil dan politik, tercermin dalam sila ke-2. Namun ada satu hal lagi yang luput disoroti oleh Negara yakni pemenuhan “non-derogable rights” (hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam kondisi dan situasi apa pun), missal, kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, hak untuk hidup dan lain sebagainya.
Maraknya trade off (perdagangan) hak sipil dan politik (hak sipol) dan hak ekonomi sosial dan budaya (hak ekosob) antara Negara dengan korporasi, Roichatul juga menegaskan dalam tanggapannya bahwa hal ini pun harus menjadi sorotan kita bersama. Tiga pihak yang berpotensi melakukan pelanggaran HAM pasca reformasi ialah Kepolisian, Korporasi dan terakhir Pemerintah Daerah. Ketiga institusi ini menjadi semakin berpotensi melakukan pelanggaran HAM pasca diberikannya kekuasaan yang cukup besar kepada masing-masing institusi.
Di tengah kondisi Negara dan penegakkan hukum yang seperti kubangan, dimana kita hidup di tengah iklim “Rule by Law dan minim Rule of Law” sudah seharusnyalah “Keadilan kita rebut!” Janji dan komitmen Presiden terpilih 2014 Joko Widodo pun merupakan bagian dari keadilan yang harus kita rebut. Masyarakat harus tetap kritis dan mengawal jalannya pemerintahan. Siapa pun Presidennya, selama sistemnya masih korup maka, masyarakat tidak boleh diam. Demi masyarakat Indonesia yang lebih cerdas, adil dan sejahtera.
Salam Bantuan Hukum!