PERS RILIS
KOMNAS HAM HARUS TEGAS MEMBENTUK KPP HAM,
AGAR PENGADILAN HAM TRAGEDI PANIAI TERWUJUD!
Lebih banyak kabar tak baik menghampiri Papua dari Jakarta, ketimbang kabar baik. Sementara harapan kita besar pada kabar baik di era pemerintahan baru ini. Penembakan di Enarotali, Paniai; rencana penambahan KODAM di Manokwari; rencana pertambahan transmigrasi ke Papua; penembakan 2 orang Brimob di Timika berbuah penyisiran ke kampung warga; berbagai pernyataan aparat yang menyudutkan kelompok-kelompok tertentu di Papua; mantan kepala BIN yang menjadi PresDir PT. Freeport, adalah di antara deretan kabar buruk yang menghampiri Papua.
Di tengah situasi yang tidak menjanjikan itu, satu bulan sudah berlalu sejak 4 remaja ditembak mati, dan 17 orang lainnya terpaksa dirawat di Rumah Sakit. Mereka ditembak aparat gabungan TNI dan Polri di lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai Timur pada 8 Desember 2014 lalu.
Penyesalan Jokowi, yang terlambat 20 hari, telah disampaikan dalam kunjungannya ke Jayapura, Papua 27 Desember lalu. Berbagai seruan untuk melakukan penyelidikan telah dikeluarkan kelompok-kelompok masyarakat sipil, termasuk pemerintah sendiri. Hasil investigasi sementara KOMNAS HAM telah menyimpulkan adanya penggaran HAM (hak hidup dan hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang kejam) pada kasus Paniai. KOMNAS HAM juga menghendaki dibentuknya Tim Pencari Fakta Gabungan (TPGF) untuk melakukan penyelidikan.
Namun demikian, hingga saat ini, semua ini masih wacana. Temuan KOMNAS HAM tentu saja adalah landasan untuk melangkah lebih jauh. Pada 7 Januari 2015 KOMNAS HAM telah melakukan pertemuan pleno, dan merekomendasikan pembentukan tim penyeldikan berdasarkan UU HAM 3/1999. Penyelidikan berdasarkan UU tersebut adalah penyelidikan pemeriksaan yaitu dalam rangka pemantauan. Sementara yang kita butuhkan adalah penyelidikan pro justisia yang bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana pelanggaran HAM yang berat.
Padahal KOMNAS HAM sudah mendapatkan kesimpulan adanya pelanggaran HAM dalam kesimpulan sementara yang mereka keluarkan 22 Desember lalu. Sehingga penyelidikan seharusnya bisa meningkat ke pro justisia berdasarkan UU No. 26/2000. Kedua penyelidikan ini memang penyelidikan terkait pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran HAM dalam kedua penyelidikan ini memiliki makna yg berbeda. Pelanggaran HAM dalam penyelidikan pro Justitia berarti tindak pidana yang mempunyai sanksi pidana, sedangkan dalam penyelidikan pemeriksaan pelanggaran HAM berarti pelanggaran prinsip-prinsi HAM.
Hasil pertemuan belum secara tegas dan bulat menyatakan akan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk kasus penembakan Paniai. Untuk itulah kami hadir pada hari ini, agar KOMNAS HAM tidak ragu-ragu membuat keputusannya:
1. Unsur-unsur pelanggaran HAM berat semestinya telah dapat disimpulkan terjadi pada kasus penembakan di Paniai, 8 Desember 2014 dan harus dilaporkan kepada publik;
2. KOMNAS HAM harus mendengarkan permintaan dan tuntutan unsure-unsur masyarakat baik di tingkat nasional maupun di Papua yang menghendaki pembentukan KPP HAM Paniai, seperti agamawan dan budayawan, akademisi, lembaga-lembaga hak asasi manusia nasional, Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Dewan Adat Daerah Paniai, dan Sinode Kingmi Paniai.
3. Segera membentuk KPP HAM (Tim Ad hoc) Paniai berdasarkan mandat UU No. 26/2000 untuk penyelidikan PRO JUSTITIA yang diatur dalam pasal 18 ayat 2, dengan unsur-unsur independen dari masyarakat.
4. Sementara proses ini dilakukan, segera libatkan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk memberikan perlindungan dan perawatan pada saksi dan korban yang memerlukan, mencegah intimidasi pada saksi dan penghilangan barang bukti.
KOMNAS HAM perlu mengingat, bahwa konteks sejarah pelanggaran HAM di Papua, mayoritas pelaku adalah anggota lembaga pertahanan dan keamanan negara (TNI) atau kepolisian negara (Polri), Komnas HAM sendiri telah menarik kesimpulan bahwa aparat keamanan negara bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan di Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001 dan Wamena 1 April 2003. Kasus besar lainnya seperti Operasi Pembebasan Sandera di Mapnduma tahun 1996, Biak Berdarah tahun 1998 atau Pembubaran Konggres Papua III tahun 2011 tidak pernah diusut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Inilah saatnya. Tanpa keberanian menggugat impunitas TNI-Polri, selamanya Hak Azasi Manusia Indonesia, apalagi Papua, akan terus dikebiri.
Kita tidak boleh biarkan, kita tidak boleh menyerah, keadilan harus ditegakkan.
Jakarta, 8 Desember 2014
Gerakan #PapuaItuKita
Alghiffari Aqsa, Ana Lani, Asrida Elisabeth, Romo Beny Susetyo, Bernard Agapa, Budi Hernawan, Febi Yonesta, Fien Jarangga, John Gobay, Marthen Goo, Novel Matindas, Sylvana Maria Apituley, Tommy Albert Tobing, Veronica Koman, Victor Mambor, Yuliana Lantipo, Zely Ariane
Kontak Person:
Marthen Goo (082399074842), Zely (08158126673)