SUAKA mengecam keras kebijakan imigrasi anti resettlement yang baru saja dikeluarkan oleh Pemerintah Australia terhadap para pengungsi yang berada di Indonesia. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan kewajiban Internasional Australia selaku negara pihak dari Konvensi Pengungsi 1951 dan mengakibatkan situasi tidak menentu bagi para pengungsi selama transit di Indonesia.
Kebijakan imigrasi yang dikeluarkan pada 18 November 2014 ini pada dasarnya menolak pencari suaka dan pengungsi untuk proses resettlement (penempatan ke negara ketiga) ke Australia bagi mereka yang mendaftar ke UNHCR Indonesia per 1 Juli 2014. Kebijakan tersebut juga memutuskan untuk memotong kuota resettlement pengungsi dari 600 orang menjadi 450 per tahun saja mereka yang datang sebelum bulan Juli 2014.
Kebijakan tersebut memastikan sekitar 1911 orang pencari suaka dan pengungsi yang mendaftar ke UNHCR setelah bulan Juli 2014, tidak akan memperoleh hak untuk resettlemet ke Australia. Para pencari suaka/pengungsi itu rata-rata berasal dari Afghanistan, Iran, Suriah, Myanmar, Sri Lanka dan Palestina.
Selain itu, ada sekitar 4300 orang pengungsi dan 6200 orang pencari suaka yang saat ini berada di Indonesia, terpaksa menanti proses resettlement lebih lama akibat adanya pengurangan quota. Padahal, quota resettlement ke Australia selama adalah yang terbesar dibandingkan dengan quota negara penerima lainnya seperti Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada atau Jerman yang jika ditotal, negara-negara ini hanya menerima dengan jumlah dibawah 10% dari jumlah yang diterima Australia.
Kebijakan ini menempatkan para pengungsi dalam kondisi semakin sulit, khususnya transit di negara yang tidak memiliki jaminan hukum yang memadai untuk melindungi pengungsi seperti Indonesia. Dalam proses penantian tidak menentu yang rata-rata memakan waktu hingga tiga tahun bahkan lebih ini, pencari suaka dan pengungsi menjadi sangat rentan. Di Indonesia, mereka tidak memiliki hak untuk bekerja, hak atas kesehatan, hak atas tempat tinggal dan akses terhadap pendidikan dasar bagi anak-anaknya. Meskipun dari seluruh jumlah pencari suaka dan pengungsi tersebut, ada sekitar 3000 orang anak-anak yang mana 1000 diantaranya adalah anak-anak tanpa orang tua.
Indonesia hingga saat ini masih melihat mereka sebagai imigran ilegal, yang masih menerapkan penahanan kepada para pengungsi meski mereka bukan kriminal. Bantuan logistik yang diterima pengungsi selama ini pun tidak disediakan oleh Permerintah Indonesia, melainkan bergantung pada bantuan organisasi internasional dengan jumlah yang sangat terbatas.
Namun demikian, kebijakan baru Australia ini dapat dipandang sebagai tantangan bagi Indonesia untuk merealisasikan komitmennya terhadap penegakan hak asasi manusia yang berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali, termasuk hak untuk mencari suaka sebagaimana termaktub dalam pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, Indonesia harus memandang para pencari suaka dan pengungsi bukan semata-mata sebagai imigran ilegal, akan tetapi memandang mereka sebagai orang-orang yang telah menjadi korban perang atau persekusi di negara asalnya, dan datang ke Indonesia untuk mencari perlindungan. Yang oleh karenanya, orang-orang ini harus diperlakukan secara baik dan bermartabat, diberikan perlindungan yang layak, termasuk tapi tidak terbatas pada diberikannya akses terhadap pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan pekerjaan.
Masalah pencari suaka dan pengungsi adalah tanggung jawab bersama, baik negara, komunitas regional, maupun internasional. Dalam krisis kemanusiaan yang saat ini melanda berbagai belahan dunia, kebijakan Australia yang menutup pintu perlindungan bagi para pengungsi, bukanlah sesuatu yang pantas.
CP: Febi Yonesta (087870636308)