Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk melindungi dan memberikan pelayanan kepada semua pemeluk agama dan keyakinan, termasuk pemeluk agama di luar enam agama yang resmi diakui pemerintah. Hal ini merupakan amanat konstitusi.
Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama Machasin menyampaikan hal itu saat memberikan pidato kunci dalam konferensi ”Memperkuat Akuntabilitas bagi Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara”, di Jakarta, Senin (17/11).
Hadir juga sebagai pembicara dalam acara yang digelar Asia Justice and Rights bekerja sama dengan sejumlah lembaga ini, antara lain, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Indriaswati D Saptaningrum, Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta, anggota Komisi Kepolisian Nasional Adrianus Meliala, serta Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik.
Machasin menjelaskan, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan, agama yang dipeluk kebanyakan masyarakat Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun, negara juga membiarkan adanya agama lain di luar keenam agama itu untuk hidup di negeri ini.
”Agama lain boleh hidup, tapi selama ini tidak mendapat bantuan seperti enam agama (yang resmi diakui). Kemudian kondisi ini dirasakan tak cukup. Agama lain juga perlu perlindungan sehingga kita berusaha untuk bisa memperluas perlindungan dan pelayanan (kepada agama di luar keenam itu),” katanya.
Mengutip hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, menurut Machasin, pemeluk Islam sebanyak 207 juta jiwa, Kristen 16,5 juta jiwa, Katolik 6,7 juta jiwa, Hindu 3,8 juta jiwa, Buddha 1,7 juta jiwa, dan Khonghucu 0,117 juta jiwa. Pemeluk agama lain mencapai 1,2 juta jiwa. Jumlah itu lebih banyak daripada pemeluk Khonghucu, bahkan mendekati jumlah umat Buddha.
Dalam diskusi panel, Jayadi Damanik mengingatkan, konstitusi mengamanatkan negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, pemerintah belum sungguh-sungguh menjalankan kewajiban tersebut.
Penegakan hukum lemah
Febi Yonesta menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan atas nama agama. ”Kami menemukan motivasi politik di balik pembiaran atas aksi-aksi intoleransi. Beberapa kasus terkait momen politik daerah, seperti pilkada,” katanya.
Menurut Indriaswati D Saptaningrum, ketika kasus kekerasan atas nama agama masuk dalam proses hukum, pengadilan sering kali justru mengorbankan korban dan menjatuhi hukuman ringan terhadap pelaku kekerasan. (IAM)/KOMPAS cetak