PRESS RELEASE No: 1305/SK/LBH/XI/2014
Kementerian Dalam Negeri harus membatalkan Qanun Jinayat di Aceh karena bertentangan dengan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Jakarta, 18 November 2014. Qanun Jinayat yang baru-baru ini disahkan di Aceh melanggar konstitusi, berbagai instrumen hukum terkait hak asasi manusia (HAM), hukum pidana nasional dan bahkan Nota Kesepahaman Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia (MoU Helsinki). Untuk itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) segera membatalkan qanun tersebut karena saat ini posisi koreksi sedang ada di tangan Kemendagri.
Aceh sebagai daerah istimewa memang diberikan otonomi seluas-luasnya termasuk dalam menetapkan qanun yang setingkat dengan peraturan daerah (perda). Ketentuan ini didukung pula oleh MoU Helsinki yang menjadi dasar awal diamanatkannya qanun. Namun MoU Helsinki membatasi bahwa qanun harus sesuai dengan hukum nasional serta Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (Sipol) dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob).
Berbagai lembaga baik pemerintahan maupun non-pemerintahan yang bergerak di isu HAM mengecam Qanun Jinayat yang baru disahkan tersebut karena qanun tersebut sarat akan pelanggaran HAM. Qanun Jinayat mencederai hak atas fair trial, bertentangan dengan hukum pidana dan hukum acara pidana nasional melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan anak, melegitimasi penyiksaan, serta mengkriminalisasi orientasi seksual kaum LGBT.
Adapun salah satu hal yang paling kami kritisi adalah terkait fair trial. Banyak diatur soal perbuatan yang tidak boleh dilakukan, namun nihil hukum acara pidana yang akan digunakan. Tidak ada pengaturan mengenai penangkapan, pembuktian dan proses pemidanaan yang jelas. Hal ini akan sangat berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Berikutnya adalah mengenai pasal pemerkosaan. Hukuman yang ditetapkan lebih ringan dibandingkan hukuman yang ditetapkan dalam KUHP. Ketetapan tersebut juga berlaku sama untuk pemerkosaan terhadap anak. Padahal UU Perlindungan Anak sudah menetapkan hukuman bagi pelaku yang jauh lebih berat. Selain itu, pasal tersebut juga memungkinkan timbulnya impunitas bagi pelaku karena diatur bahwa pelaku bisa dibebaskan dengan hanya bersumpah lima kali.
Jenis hukuman yang diterapkan dalam qanun ini juga adalah termasuk jenis penyiksaan yakni hukuman cambuk. Padahal hukuman badan atau corporal punishment sudah lama ditinggalkan.
Lebih lanjut lagi, orientasi seksual kaum LGBT dikriminalisasi dan akan diberi hukuman cambuk padahal mereka adalah kaum minoritas yang harus dilindungi.
Selain itu, berbagai pengaturan lain di dalam Qanun Jinayat tersebut multi tafsir dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Misalkan tentang pelarangan khalwat, yakni larangan untuk berada pada tempat tertutup antara dua orang yang berlainan jenis kelamin tanpa ikatan perkawinan. Apakah ini berarti perempuan dan laki-laki yang kebetulan sedang berada di satu ruangan namun masing-masing sedang main HP tanpa komunikasi satu sama lainnya akan dianggap bersalah juga?
Beberapa undang-undang (UU) yang dilanggar antara lain adalah UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Sedangkan beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi Indonesia yang dilanggar antara lain adalah Kovenan Hak-hak Sipol, Kovenan Hak-hak Ekosob, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Walau Aceh letaknya ada di ujung paling barat sana, namun Aceh masih merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka Qanun Jinayat adalah persoalan kebangsaan kita bersama, bukan persoalan Aceh semata.
Kontak: Febi Yonesta: 087870636308, Veronica Koman: 082298343067