Frasa “alat bukti yang sah” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana setidaknya mengandung dua arti penting. yang pertama terkait jenisnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan cara perolehan alat bukti tersebut. Keterangan terdakwa merupakan salah satu jenis alat bukti yang sah dalam KUHAP, namun kekuatan pembuktian dari keterangan terdakwa juga memiliki keterkaitan erat dengan cara perolehannya, apakah keterangan tersebut diberikan secara sukarela, ataukah dengan tipu daya? atau bahkan diperoleh melalui penyiksaan? Apabila ternyata keterangan terdakwa diperoleh dari paksaan bagaimanakah kekuatan pembuktiannya? tentunya dari gambaran singkat ini menimbulkan pertanyaan terkait keterkaitan antara alat bukti dan cara perolehannya, hal ini tentu salah satunya dikarenakan adanya keterkaitan antara dua hal tersebut dengan nilai pembuktiannya.
terkait perolehan alat bukti yang telah lama ada dan terus berkembang sampai saat ini dikenal dengan istilah “Exclusionary Rules”. perdebatan antara perlindungan Hak Asasi Manusia dan hambatan dalam melakukan pembuktian menjadi isu penting terkait Exclusionary Rules. Tulisan ini akan membahas sedikit mengenai Exclusionary Rules, baik dari segi sejarah, perkembangan, dan tentunya relevansinya dalam hukum Indonesia.
Sejarah Singkat Exclusionary Rules
Exclusionary rules adalah istilah yang dikenal dalam hukum Amerika Serikat terkait perolehan alat bukti yang berasal dari filosofi perlindungan atas penggeledahan dan penyitaan sewenang-wenang berdasarkan amandemen keempat[4] dan mulai diformulasikan diantara tahun 1914-1969. Selama masa itu, sering kali terjadi penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah sehingga timbul upaya-upaya untuk memperbaikinya.
Istilah Exclusionary Rules sendiri baru mulai disebut tahun 1961 pada kasus Mapp Vs Ohio. dalam perkara ini, muncul suatu kaidah hukum terkait perolehan alat bukti berupa pentingnya menegakkan dan mengefektifkan larangan atas penggeledahan dan penyitaan yang bertentangan dengan hukum, dan untuk menjamin itu pengadilan tidak akan membiarkan aktivitas inkonstitusional dalam penggeledahan dan penyitaan dan untuk memberikan efek takut kepada pelaku aparat yang menyimpang dalam bentuk menolak seluruh alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.
Exclusionary Rules dalam Mapp vs Ohio dijabarkan mengandung empat tipe pelanggaran, yaitu penggeledahan dan penyitaan yang melanggar Amandemen Keempat (Terkait perlindungan hak milik pribadi), pengakuan yang diperoleh dengan melanggar Amandemen Kelima dan Keenam (terkait prinsip Non-Self Incrimination), kesaksian yang diperoleh dengan cara yang melanggar hukum, dan bukti lainnya yang diperoleh secara melawan hukum yang penggunaannya dapat melanggar prinsip Due Process Of Law[2].
Tujuan dari Exclusionary Rules pada awalnya didasarkan pada alasan perlindungan terhadap Integritas Pengadilan, karena pengadilan dianggap akan tercemar integritasnya apabila menggunakan bukti yang diperoleh dari cara melawan hukum dalam memutus suatu perkara[3]. seiring berkembangnya prinsip Exclusionary Rules (Ex Rules), tujuan dari penerapannya didefinisikan ulang oleh pengadilan dari yang sifatnya menjamin integritas pengadilan, menjadi sarana pencegahan dan untuk memberikan efek takut kepada polisi terhadap tindakan yang sewenang-wenang. tujuan berupa memberikan efek takut kepada polisi terlihat dalam Preseden wolf v colorado[4] . Kaidah hukum dalam Wolf vs Colorado berpandangan bahwa cara memberikan detterence effect (efek menakuti) kepada polisi adalah dengan tidak memberikan kesempatan untuk menggunakan bukti yang diperoleh secara melawan hukum[5]. ex rules dicanangkan sebagai alat pencegahan bukan pemulihan, karena efek pelanggaran atas privacy dan efeknya yang dirasakan korban tidak bisa dipulihkan[6]. Ex Rules tidak bisa memperbaiki atau memberikan ganti rugi atas pelanggatan 4th amandment melainkan sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadi lagi pelanggaran keesokan hari.
Terkait justifikasi exclusionary rules, terdapat dua pendekatan, yang pertama adalah pendekatan normatif, dan kedua adalah pendekatan faktual. Pendekatan normatif menekankan pada larangan pemerintah untuk menggunakan bukti yang diperoleh dari cara melawan hukum, sedaangkan pendekatan faktual beralasan bahwa mengenyampingkan bukti yang diperoleh secara ilegal dapat memberikan efek deterrence kepada aparat penegak hukum. pandangan ini berpegangan pada doktrin “lebih baik melepaskan seorang kriminal daripada pemerintah harus menggunakan cara-cara yang tercela”, dipertegas dengan pernyataan Supreme Court yang menyatakan bahwa pemerintah (dalam hal ini aparat kepolisian) tidak boleh diijinkan mendapat keuntungan dari kesalahannya sendiri [7].
Exclusionary rules berlaku untuk primary evidence dan derivatif evidence (Bukti turunan) yang diperoleh dari eksplorasi atas perolehan primary evidence. Derivatif evidence hanya akan dikesampingkan apabila ternodai oleh tindakan yang bertentangan dengan hukum dan tidak diperbaiki. Exclusionary rules diaplikasikan untuk semua tipe bukti seperti bukti fisik, keterangan verbal dan kesaksian sebagaimana hal-hal yang diketahui sepanjang penggeledahan dan penyitaan[8]. Saat ini, seiring berjalannya waktu, exclusionary rules hanya digunakan untuk kasus pidana[9]. Exclusionary rules juga tidak dipergunakan apabila seorang petugas yang melakukan penggeledahan dan penyitaan dengan itikad baik berdasarkan warrant dan kemudian hari ternyata warrant tersebut invalid atau terdapat kekeliruan
Perkembangan Exclusionary Rules
Beberapa perkembangan kaidah Exclusionary Rules di Amerika Serikat bersumber dari beberapa Preseden diantaranya sebagai berikut :
1. Hanya digunakan pada persidangan pidana. detterence effect pertama kali disebutkan dalam kasus US V Calandra (1974), tidak dapat digunakan untuk kasus pajak, deportasi, penarikan kembali pembebasan bersyarat
2. Niat baik sebagai pengecualian dari ex rules, yaitu saat petugas melakukan penggeledahan dan penyitaan berdasarkan itikad baik melalui peraturan yang ada, preseden, warrant, atau kompetur data yang kemudian diketahui invalid
a. Ex rules tidak dapat digunakan saat petugas yang menggeledah berdasarkan aturan atau preseden dari pengadilan yang lebih rendah dan kemudian hari dianulir oleh supreme court (US V Peltier 1975). Parameter good faith adalah dengan melihat apakah tindakan aparat mengandung kesalahan yang sengaja atau lalai[10], ataupun patut diduga mengetahui. pengecualian ini dilakukan karena pada dasarnya apabila officer melakukan tindakan dengan itikad baik, maka deterence effect tidak akan terjadi pada officer ybs.
b. Ex rules tidak dapat digunakan utuk penyelidikan dan penyitaan yang dilakukan berdasarkan warrant yang tidak valid atas dasar ex rules ditujukan untuk efek detterence bagi polisi, bukan untuk menghukum kesalahan pengadilan[11]
3. Bukti derivatif dari suatu perbuatan melanggar hukum tidak serta merta dikecualikan, kecuali apabila bukti derivatif tersebut juga ternodai oleh perbuatan melawan hukum[12]
a. dalam kasus Silverthorne Lumber Co. vs US terdakwa diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa bukti yang memberatkannya adalah fruit of the poisoneus tree, dalam kondisi ini beban pembuktian berada pada penuntut umum untuk meyakinkan pengadilan bahwa bukti tersebut memiliki “independent origin” atau ada hubungan antara suatu perbuatan ilegal dan bukti milik pemerintah. Hal seperti ini yang dapat “menghilangkan noda” dari bukti derivatif tersebut[13].
b. Miranda rules tidak cukup untuk menjadi alasan pembenaran perolehan bukti dari illegal act oleh aparat. Dalam kasus Brown V Illinois disebutkan 3 faktor dalam menentukan apakah suatu pengakuan diperoleh dari hasil penangkapan secara illegal[14]. Kaitan antara apakah suatu pengakuan yang bersumber dari penangkapan yang ilegal harus di keluarkan sebagai bukti karena dianggap sebagai fruit from poisoneus tree dapat dipertimbangkan dari 3 hal secara kasus perkasus, yang pertama adalah jangka waktu antara pengakuan dengan penangkapan, the presence of intervening circumstances dan secara khusus tujun dari tindakan polisi tersebut (dalam kasus brown tujuannya menangkap memang untuk menginterogasi, penangkapan dilakukan dengan memasuki rumah tersangka saat tersangka tidak ada dirumah dan kemudian menangkapnya dengan menodongkan pistol saat ia kembali, keadaan ini dianggap sebagai penyebab kaget, ketakutan dan kebingungan). Dalam kasus yang taylor v alabama, meskipun ada penangkapan yang dilakukan secara tidak sah, kemudian diambil sidik jarinya. Tersangka sempat diberikan waktu bertemu dengan kekasihnya dan selang waktu 6 jam ia mengaku, dalam kasus ini supreme court menganggap masih tidak cukup alasan untuk menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara penangkapan ilegal dan pengakuan si terdakwa[15]. penngakuannya tetap tidak dapat diterima
4. ex rules tidak dapat digunakan untuk statement yang diperoleh diluar rumah meskipun tanpa warrant selama polisi punya probable cause (new york v harris 1990).
5. doktrin exclusionary rules payton yaitu hukuman bagi government (penuntut umum) atas ex rules adalah karena aparatnya melanggar hukum harus punya keterkaitan dengan tujuan yang dilindungi oleh hukum tersebut”
Exclusionary Rules di Berbagai Negara
Di Jerman, exclusionary rules diterapkan secara khusus untuk statement yang diperoleh melalui kekerasan, perlakuan ilegal dan perbuatan lain yang dilarang. Di Jerman dan China, penggunaan exclusionary rules berangkat dari rasa tidak percaya terhadap polisi yang dianggap seringkali memperoleh bukti secara melawan hukum[16]. Di Jerman, negara penganut civil law, diatur mengenai ex rules terkait perolehan pengakuan dengan kekerasan, hal ini merupakan reaksi atas sistem peradilan yang terbentuk pada masa pemerintahan Nazi[17]. Jerman lebih concern terhadap pelanggaran dalam interogasi dibandingkan dengan penggeledahan dan penyitaan, penekanan lebih ke arah fifth amandment di AS dibanding 4th amandment. Justifikasi penggunaan ex rules di jerman lebih menekankan pada kemurnian lembaga peradilan dibandingkan efek deterrence bagi aparat penegak hukum seperti di AS[18].
Begitu pula di Russia, semenjak 2001, mereka melakukan perubahan total dari sistem peradilan pidana yang bersifat inquisitorial menjadi adverasial, termasuk di dalamnya memberikan kewenangan pengadilan untuk mengesampingkan alat bukti yang diperoleh melalui pelanggaran hak konstitusional[19]. Perubahan sistem hukum di Rusia tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa seringkali terjadi pengakuan yang didasarkan pada kekerasan dan paksaan[20].
Di Taiwan, exclusionary rules timbul sebagai reaksi atas upaya menghormati hak asasi manusia dan kesewenang-wenangan polisi. Pada tahun 1998 mahkamah agung taiwan menyatakan bahwa pengadilan dapat mengenyampingkan bukti yang diperoleh secara ilegal apabila mereka yakin bahwa penerimaan bukti tersebut dapat mengurangi dan mengurangi keadilan, putusan ini kemudian menjadi bagian dari reformasi peradilan di Taiwan pada era 2001-2003[21], penggunaan di Taiwan juga dikenal discretionary rules sebagai bentuk balancing pengadilan dalam mengensampingkan bukti dari sudut pandang hak asasi manusia dan kepentingan umum. Balancing seperti ini yang sekarang sedang berkembang dalam pengaturan ex rules, seperti halnya di Amerika Serikat[22].
Relevansi Exclusionary Rules di Indonesia
berdasarkan uraian di atas pada dasarnya dapat kita lihat bahwa penerapan Exclusionary Rules memiliki pertentangan kepentingan antara semangat membongkar kejahatan dengan perlindungan hak asasi manusia. Sebagai satu contoh, di Indonesia, peroleh pengakuan tersangka di penyidikan yang ternyata diperoleh melalui kekerasan tidak serta merta dapat dikecualikan. dalam praktik pengadilan, apabila tersangka dan penasehat hukumnya mendalilkan ada pengakuan yang berdasarkan pada paksaan penyidik, maka hakim tidak serta merta akan mencabut pengakuan tersebut atau menganggap keterangan tersebut tidak ada melainkan akan terlebih dahulu menempuh mekanisme Verbalisant.
Mekanisme Verbalisant dalam mekanisme pencabutan keterangan adalah mekanisme yang sulit diterima akal sehat. dalam mekanisme Verbalisant, penyidik yang bersangkutan akan dipanggil ke persidangan untuk menerangkan terkait proses pemeriksaan perkara. menjadi suatu hal yang dapat ditebak sebelumnya, penyidik sudah pasti tidak akan mengakui ada paksaan atau kekerasan terhadap tersangka karena dengan mengakui hal tersebut bukan hanya dapat berimplikasi pada dimungkinkannya dicabut keterangan tersebut melainkan pada saat bersamaan ia mengakui ada paksaan atau kekerasan terhadap tersangka maka ia telah membuat pengakuan telah melakukan tindak pidana, dan tentu saja penyidik dapat dikatakan tidak mungkin akan mengakui telah terjadi paksaan dalam perolehan keterangan. akibatnya, dalil ada paksaan dalam peroleh keterangan seringkali tidak diacuhkan dan keterangan tersebut akan tetap dijadikan acuan dalam persidangan.
Permasalahan lainnya adalah tidak memadainya prosedur dalam KUHAP yang melindungi hak tersangka atau orang lain yang mengalami “official monducisct” oleh aparat penegak hukum dalam proses pengumpulan bukti-bukti. sudah jadi diskursus sejak lama bahwa lembaga praperadilan bukanlah lembaga yang efektif untuk menjadi sarana pengawas perilaku aparat penegak hukum dalam hal perolehan bukti-bukti. lembaga pra peradilan bukanlah lembaga yang bersifat aktif melindungi, melainkan lembaga yang pasif menunggu adanya pengaduan.
menarik untuk diperhatikan terkait lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang diatur dalam RUU KUHAP. lembaga ini diberikan kewenangan salah satunya untuk menetapkan dan memutuskan sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan dan juga memberikan keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri. lebih lanjut, hakim pemeriksa pendahuluan diberikan kewenangan untuk menentukan bahwa alat bukti yang dinyatakan diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti[23].
dengan adanya lembaga hakim pemeriksaan pendahuluan ini dapat menjadi harapan dalam perlindungan hak tersangka dan pihak-pihak lain dari perilaku sewenang-wenang aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. norma yang diatur dalam RUU KUHAP terkait pemberian kewenangan kepada hakim pemeriksa pendahuluan untuk menyeleksi proses pengumpulan bukti-bukti mengandung nilai-nilai yang terdapat dalam prinsip Exclusionary Rules. menarik kedepannya untuk melihat sejauh mana hakim pemeriksa pendahuluan dapat berperan dalam melindungi hak-hak tersangka dan pihak-pihak lain dalam proses peradilan pidana terutama dalam keabsahan pengumpulan bukti-bukti.
Ichsan Zikry, S.H
Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta
[divider]
[1] Di Konstitusi Indonesia padal 28 28 H ayat 4 disebutkan bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
[2] Yurisprudensi Mapp vs Ohio (penggeledahan dan penyitaan), Miranda vs Arizona, US vs Wade dan Gilbert vs California (testimony identification) dan Rochin and California (shocking method).
[3] US vs Calandra.
[4] Hlm 23.
[5] Hlm 24.
[6] Linkletter V Walker 1965.
[7] Studying ex rules in search and seizure. Hlm 669.
[8] Wong Sun v. United States (1963) 371 U.S. 471.).
[9] See, e.g. United States v. Calandra (1974) 414 U.S. 338; United States v. Janis (1976) 428 U.S. 433; Pennsylvania Board of Probation and Parole v. Scott (1998) 524 U.S. 357.
[10] Op. Cit. 34.
[11] Ibid. Hlm 36.
[12] Nardone vs US (1939), Wong Sun v US (1963), Brown vs Illinois (1975).
[13] Ada dua teori yang memungkinkan digunakannya bukti yang disita secara ilegal, yaitu inevitable discovery, dimana bukti akan tidak dapat di exclude apabila jaksa dapat membuktikan bukti atau informasi yang memberatkan tersebut tidak dapat dielakkan sudah diselidiki/ditemukan dengan cara yang sesuai hukum, dan independent source doctrine dimana bukti tidak akan dihapuskan apabila saat bukti tersebut disita berdasarkan warrant yang valid yang berbeda sumber dari tindakan ilegal sebelumnya. Jadi, tidak masalah apabila suatu bukti pada awalnya didasarkan dengan cara yang melawan hukum, selama penyelidikan awal tersebut bukan menjadi dasar warrant. Contohnya adalah pada kasus wong sun, dimana ia ditangkap secara ilegal dan dari penangkapan itu polisi mendapatkan informasi. Informasi ini apabila nantinya menghasilkan bukti akan inadmissible, akan tetapi apabila informasi tersebut kemudian digali lagi dengan cara yang tidak melawan hukum maka buktinya akan admissible. Harus diperhatikan koneksi antara tindakan polisi dengan penyelidikan yang dilakukan dalam memperoleh bukti.
[14] Brown vs illinois (1975). Dalam kasus ini, tersangka ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dan disebutkan miranda rulesnya dan diinterogasi, kurang dari dua jam kemudian ia mengaku. Suatu saat kemudian ia kembali diinformasikan miranda rulesnya dan ia pun memberikan pengakuan kedua mengacu pada pernyataannya pertama. Pengadilan tingkat pertama menolak mosi yang diajukan terdakwa bahwa pengakuannya adalah buah dari penangkapan ilegal. Mosi ini ditolak oleh pengadilan, pada tingkat banding diperkuat dan dipertegas bahwa pengakuannya dapat diterima karena aparat telah memberikan miranda rules dan hal tersebut memutus hubungan antara illegal arrest dan pengakuannya. Putusan ini dianulir oleh supreme court dengan pertimbangan bahwa miranda rules tidak cukup untuk jadi pertimbangan bahwa suatu pengakuan dibuat secara free will meskipun penangkapan dilakukan secara ilegal (tanpa probable cause) karena tujuan utama dari ex rules adalah detterence kepada aparat. Apabila penangkapannya boleh secara ilegal dan pengakuannya dapat diterima akan menjadi preseden buruk. Begitu pula kasus Dunaway vs New York (1979) supreme court menyatakan polisi telah melanggar hak 4th amandment tersangka saat menangkap dan membawa ke kantor polisi untuk diinterogasi, kemudian tersangka menolak miranda rightsnya dan mengaku terlibat dalam pencurian dan pembunuhan. Pengadilan menganggap pengakuan ini adalah fruit of poisoneus tree dan harus dikesampingkan.
[15] Taylor v alabama 1982.
[16] Ex rules comparative 16.
[17] 16
[18] 18
[19] 19. Termasuk didalamnya pengakuan yang diperoleh tanpa kehadiran penasehat hukum.
[20] 19. Tingkat kekerasan dan paksaan dalam perolehan pengakuan disebutkan dalam buku Stephan C Thaman sekitar 50 persen tersangka adalah korban penyiksaan atau kekerasan, dan lebih dari 80 persen dari mereka yang menolak untuk mengakui kesalahannya adalah sasaran dari kekerasan dan pemaksaan tersebut.
[21] 21.
[22] 21.
[23] Naskah Akademik RUU KUHAP.
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]