Perss Release
Sebelas organisasi masyarakat sipil yaitu LBH Jakarta, YAPPIKA, PSHK, KontraS, Migrant Care, ICW, PERLUDEM, Transparency International Indonesia, JPPR, ELSAM dan FITRA menolak untuk hadir dan berbicara dalam forum internasional tentang demokrasi; Bali Civil Society Forum 2014. Mengusung tema ‘Democratic Governance in the Twenty-First Century: the Roles of Civil Society,’ forum ini mengundang 14 organisasi masyarakat sipil untuk menjadi pembicara tentang peran masyarakat sipil untuk demokrasi. Pengunduran diri ini merupakan respon dari kemunduran demokrasi yang terjadi di Indonesia.
Setelah pemilu presiden berlangsung pada 9 Juli lalu, berbagai manuver politik dilakukan di tingkat parlemen hingga akhirnya dua legislasi yang menentukan demokrasi disahkan oleh DPR; UU MD3 dan UU Pilkada. “Kedua UU ini merupakan titik mundur demokrasi di Indonesia dan hanya mencerminkan ambisi dari koalisi di parlemen,” ujar Febionesta, Direktur LBH Jakarta. “Ketegangan di parlemen Indonesia ini meningkat sehingga tidak dapat dibedakan lagi apakah keputusan yang dikeluarkan oleh legislatif merupakan perwakilan dari suara rakyat ataukah perwakilan dari suara partai,” lanjutnya.
Dalam UU tentang Pilkada dihendaki kepala daerah merupakan pilihan DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat. “Pemasungan hak politik rakyat ini merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat,” tegas Direktur PERLUDEM Titi Anggraini. Senada dengan Titi, Direktur KontraS Haris Azhar juga mengungkapkan bahwa demokrasi adalah seni untuk mendengarkan suara dan pilihan rakyat. “Pemilihan langsung merupakan esensi dari demokrasi, yang hasilnya merupakan manifestasi dari pilihan rakyat,” imbuhnya. “Pelemahan sektor masyarakat sebenarnya telah dimulai dengan dibangkitkannya kembali UU Ormas oleh pemerintah dan DPR, saat ini UU tersebut telah berdampak nyata bagi organisasi masyarakat sipil,” menurut Direktur YAPPIKA Fransisca Fitri.
Menurut kesebelas organisasi masyarakat sipil ini, forum BDF dan Bali Civil Society Forum 2014 –yang mengusung tema peran masyarakat sipil, merupakan forum yang tidak relevan untuk diselenggarakan mengingat ketidaktegasan presiden dalam menjamin keberlanjutan demokrasi Indonesia. Seharusnya presiden mampu membatalkan UU untuk menegakkan demokrasi di Indonesia, sebelum RUU disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI. “Dengan adanya UU ini, menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak serius dan cenderung bermain-main dengan perlindungan dan penghormatan hak politik rakyat, dimana substansinya bertolak belakang ke DPR,” ungkap Sekjen Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko. Patut diketahui, salah satu ciri Negara yang demokratis adalah Negara yang memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya dan diterima oleh pemerintah.
“BDF dan Bali Civil Society Forum hanya merupakan wacana. Penerbitan Perppu No. 1/2014 untuk membatalkan UU No. 22/2014 tentang Pilkada hanyalah bentuk penyelamatan citra pemerintahan SBY, bukan untuk menegakkan demokrasi,” tutup Selly Martini, Wakil Direktur dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Bali Civil Society Forum merupakan forum terpisah yang diselenggarakan berturutan dengan Bali Democracy Forum. Kedua acara ini digelar oleh Institute for Peace and Democracy (IPD), sebuah lembaga yang diinisiasi oleh Presiden SBY sejak 2008.
Jakarta, 7 Oktober 2014
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA); Indonesia Corruption Watch (ICW); Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR); Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS); Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Migrant Care; Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK); Transparency International Indonesia; Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA).