Jakarta – LBH Jakarta, SUAKA, dan Atma Jaya Moot Court Guild (AMG) menyelenggarakan seminar mengenai hukum pengungsi yang berjudul Refugee Protection, Law, Policy, and Procedure in the Indonesian Context, pada tanggal 21 Juli 2014 di Universitas Atma Jaya. Acara yang ditujukan untuk mahasiswa Fakultas Hukum ini bertujuan memperkenalkan tentang apa itu pencari suaka, pengungsi, perlindungan terhadap mereka, kebijakan dan prosedur yang diterapkan di Indonesia.
Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Yanti Fristikawati, S.H., M.H., dosen hukum internasional Unika Atma Jaya, dengan pembicara Adam Severson, JD. (SUAKA), Febi Yonesta, S.H. (Direktur LBH Jakarta), Jeff Savage dan Nurul Rochayati dari UNHCR.
Adam Severson merupakan pengacara pengungsi yang telah berpengalaman di beberapa Negara seperti Mesir, Bangkok dan Amerika Serikat. Ia menjelaskan mengenai definisi pengungsi, Konvensi PBB 1951 yang mengatur mengenai perlindungan pengungsi. Berdasarkan Konvensi tersebut, terdapat lima elemen definisi pengungsi: 1. berada di luar negaranya, 2. memiliki ketakutan yang jelas (well founded fear) atas persekusi, 3. berdasarkan ras, agama, kewarganegaraan, pandangan politik, 4. kelompok sosial, dan 5. tidak memiliki alternatif perlindungan di dalam Negara asalnya.
Kemudian yang dapat dikecualikan dari definisi pengungsi diatur dalam Pasal 1F Konvensi Pengungsi 1951, yaitu diantaranya apabila melakukan kejahatan pidana yang tidak bernuansa politis, melakukan tindak pidana internasional (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, agresi).
Adam juga menjelaskan bahwa setiap Negara harus didorong untuk meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan menaatinya. Hal ini dikarenakan konvensi tersebut memberikan perlindungan bagi pencari suaka dan pengungsi. Namun, diperlukan juga pembaruan karena konvensi tidak lagi sesuai dengan tantangan masa kini seperti konflik komunal, perang sipil, dan definisi pengungsi tidak diterapkan dengan konsisten dan penerimaan pengungsi masih dipengaruhi pandangan politik suatu Negara. Selain itu Konvensi ini juga tidak mengatur hukuman bagi Negara yang melanggar. Saat ini Negara yang paling banyak menghasilkan pencari suaka dan pengungsi adalah Afghanistan.
Jeff Savage dan Nurul Rochayati memperkenalkan UNHCR yang telah berada di Indonesia sejak 1979. Lembaga PBB ini berpraktek di 127 negara. Di Negara yang telah meratifikasi Konvensi, UNHCR biasanya hanya menjadi supervisi sehingga Negara tersebut dapat menerapkan sistemnya sendiri dalam menerima pencari suaka dan memberikan status pengungsi. Untuk Negara yang belum meratifikasi, seperti Indonesia, UNHCR berperan melayani pencari suaka dan memberikan status pengungsi.
Saat ini terdapat 1,2 juta Pencari Suaka, 11,7 juta pengungsi, 3,4 juta orang tanpa kewarganegaraan (stateless person), 33,3 juta pengungsi internal, 414.554 pengungsi yang kembali ke Negara asalnya. Di Indonesia sendiri terdapat 10,116 pencari suaka dan pengungsi.
Proses untuk mendapatkan status pengungsi disebut RSD (Refugee Status Determination), yang dimulai dengan pendaftaran, wawancara tingkat pertama, yang apabila ditolak dapat mengajukan banding. Apabila telah mendapatkan status pengungsi, maka terdapat tiga solusi yang ditawarkan yaitu untuk berintegrasi dengan komunitas lokal di Negara dimana pengungsi mencari suaka, atau kembali ke Negara asalnya apabila keadaan telah membaik, atau ditempatkan di Negara ketiga yang mau menerima pengungsi. Untuk solusi bagi pengungsi, terdapat prinsip non-refoulement yaitu prinsip yang melarang mengembalikan pengungsi ke Negara asalnya apabila terdapat ancaman yang membahayakan jiwanya (termasuk resiko penyiksaan).
Febi Yonesta, S.H. atau biasa dipanggil Mayong, menjelaskan peran masyarakat sipil dalam perlindungan pengungsi di Indonesia. Di Negara transit pada umumnya, khususnya Indonesia, pencari suaka masih diperlakukan sebagai imigran illegal ketika mereka tidak memiliki dokumen pribadi atau dokumen perjalanan. Hal ini terjadi karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, dan tidak memiliki regulasi khusus terkait pengungsi.
Masyarakat dan mahasiswa khususnya mahasiswa hukum, dapat berperan dan menunjukkan solidaritas bagi pencari suaka dan pengungsi dengan mendorong kerangka hukum perlindungan pengungsi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan konsultasi persiapan RSD, pemberdayaan hukum, pendampingan (oleh pengacara terakreditasi), atau dengan memberikan bantuan logistik dan akomodasi. Bagi civitas akademika, penting untuk turut meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait permasalahan yang dihadapi pengungsi.
SUAKA berterima kasih kepada Atma Jaya Moot Court Guild yang telah membantu terlaksananya seminar ini, dan juga kepada Ibu Yanti Fristikawati. SUAKA berharap seminar atau kegiatan serupa dapat diselenggarakan di universitas-universitas lain sehingga lebih banyak mahasiswa yang memahami dan mau ikut terlibat dalam mendorong perlindungan pengungsi. (Atika)