Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta, Muhammad Isnur, memandang visi-misi pasangan calon presiden (capres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang akan melibatkan militer untuk menjaga ketertiban umum sangat berbahaya. Ia melihat visi itu sebagai upaya mengeluarkan kembali militer dari barak di kehidupan sipil seperti di masa Orde Baru.
”Itu ada di visi-misi yang mereka ajukan ke KPU. Ini bagian dari legitiminasi mendukung tentara dalam ketertiban umum. Ini bahaya jika ia terlipih. Saya tidak membayangkan punya capres yang seperti itu,” ungkapnya dalam diskusi Buruh Melawan Lupa di Kantor LBH Jakarta, kemarin.
Menurut Isnur, komitmen Prabowo untuk menuntaskan reformasi di tubuh TNI/Polri tidak terbaca di visi-misi yang diserahkan ke KPU.
Direktur Program Imparsial, Al Araf, menimpali, jika nanti Prabowo terpilih jadi presiden, ia khawatir cara-cara militeristis akan terulang kembali di era reformasi ini.
”Contohnya saja, MoU yang dibuat TNI dan pengusaha bisa dinaikkan oleh pasangan itu menjadi UU Keamanan Nasional. Jika buruh berunjuk rasa, langsung tentara yang menghadapi. Ini jelas sangat berbahaya,” urainya.
Karena itu, ia mempertanyakan dasar dari beberapa serikat buruh yang mendukung pencalonan Prabowo sebagai presiden.
”Atas dasar alasan apa dukungan diberikan? Apa alasannya hanya karena janji upah buruh mau dinaikkan? Cepat sekali para buruh lupa dengan perlakuan yang pernah mereka terima dari militer,” katanya.
Lebih konkret
Dalam diskusi itu, Muhammad Isnur menilai visi-misi pasangan capres nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), lebih konkret dalam menempatkan militer di kehidupan demokrasi.
”Pasangan nomor urut dua lebih baik dalam pemetaan masalah TNI/Polri daripada pasangan nomor urut satu. Mereka bisa memetakan masalah dengan jernih. Tentara ditempatkan secara khusus dalam masalah pertahanan, tentara tidak boleh masuk wilayah sipil,” ungkapnya.
Ia menuturkan, visi-misi Jokowi-JK akan menghasilkan polri yang tidak militeristis. Selain itu, visi-misi mereka akan memasukkan kurikulum hak asasi manusia (HAM) dalam pendidikan TNI/Polri.
”Itu untuk mengubah paradigma mereka, bagaimana mereka mengakui pelanggaran HAM di masa lalu. Seperti peristiwa Mei 1998, Semanggi 1, Semanggi 2, dan penghilangan paksa. Sayangnya, tidak ada peristiwa Marsinah. Ini menarik,” jelasnya. (mediaindonesia.com)