Pengantar
Saat ini masyarakat digemparkan dengan beredarnya Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (Keputusan DKP) No: KEP/03/VIII/1998/DKP tentang rekomendasi pemberhentian Prabowo Subianto sebagai Letnan Jenderal TNI dinas keprajuritan. Tidak diketahui mengenai siapa pihak yang menyebarkan dokumen tersebut namun justru isi substansi dari SK itu yang mengundang perhatian dari publik dan media. Di dalam SK tersebut memuat alasan dan pertimbangan kenapa Prabowo Subianto dipecat. Intinya ada dugaan melakukan tindak pidana penculikan dan penahanan terhadap beberapa aktivis pada masa itu, pelanggaran indisipliner, dan melanggar norma-norma kemiliteran, sehingga fakta-fakta itu yang menjadi landasan dirinya dipecat.
Akan tetapi patut dicermati pula bahwa di dokumen SK tersebut tertulis ketentuan “Rahasia”. Artinya dapat dikatakan kalau pada masa itu dokumen SK DKP tidak boleh/dilarang untuk diberitahukan atau bahkan disebarkan ke publik. Namun mengingat saat ini memasuki era reformasi yang menuntut adanya transparansi dan keterbukaaan, maka patut ditelisik pula apakah dokumen SK DKP masih bersifat rahasia atau tidak untuk saat ini, apakah publik berhak untuk mengetahui SK tersebut, dan apakah SK tersebut masuk kategori dokumen yang patut diketahui oleh publik atau tidak.
Analisis
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas perlu ditinjau dari peraturan perundang-undangan terkait keterbukaan informasi publik. Saat ini pemerintah telah menerbitkan UU yang mengatur keterbukaan informasi publik. Tujuannya untuk menjamin hak asasi masyarakat dalam memeroleh informasi dari penyelenggara negara. Sekaligus menyempurnakan cita-cita reformasi bangsa. UU yang dimaksud yaitu UU No.14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP).
Pada pokoknya hak memeroleh informasi merupakan hak asasi manusia. Hal itu dtelah dijamin oleh Pasal 28F UUD’45 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memeroleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Ketentuan tersebut juga dipertegas di dalam konsideran menimbang poin b UU KIP yang menyatakan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia.
UU KIP diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Terutama informasi yang bersumber atau yang dihasilkan oleh lembaga negara sebagai badan publik yang melaksanakan penyelenggaraan negara. Sekaligus sebagai bentuk pengawasan dari publik terdapat proses penyelenggaraan negara. Pengertian informasi publik menurut UU KIP yaitu “Informasi yang dihasilkan, dikelola, disimpan, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan undang-undang serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik (Pasal 1 angka 2 UU KIP).”
Apabila kita melihat persoalan tentang SK DKP tentang pemberhentian Prabowo Subianto dari kesatuan militer maka dapat kita analisis dengan menggunakan UU KIP. UU KIP sangat relevan untuk dijadikan dasar pijakan analisis karena ini menyangkut dokumen negara yang sudah tersebar.
Adapun di dalam UU KIP terdapat pengaturan mengenai informasi yang patut diketahui oleh publik atau tidak. Di dalam Pasal 17 huruf a angka 1-5 yang menerangkan bahwa :
“Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali :
a. Informasi publik apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat :
- Menghambat proses penyelidikan dan penyidikan dalam suatu tindak pidana
- Mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;
- Mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
- Membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya;
- Membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.”
Meskipun UU KIP menjamin adanya keterbukaan informasi namun terdapat pengecualian terhadap informasi yang tidak dapat dipublikasikan. Perlunya pengaturan mengenai pengecualian informasi yang dilarang diungkap tersebut berkaitan dengan kepentingan kemaslahatan masyarakat. Apabila informasi tersebut dipublikasikan maka akan berpotensi mengganggu ketertiban dan harmonisasi di kehidupan masyarakat. Jadi demi kepentingan umum informasi yang terkategori di pasal 17 dilarang untuk dipublikasikan.
Selain itu pengaturan tentang informasi yang dapat diungkap ke publik juga diakomodir di dalam UU KIP. Kaitannya dengan SK DKP maka aturan yang sangat relevan dengan hal itu yakni Pasal 18 ayat (1) huruf b UU KIP. Seperti yang tertuang di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU KIP yang menyatakan bahwa “Tidak termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan : ketetapan, keputusan, peraturan, surat edaran, ataupun bentuk kebijakan lain baik yang tidak berlaku mengikat maupun mengikat ke dalam ataupun keluar serta pertimbangan lembaga penegak hukum.” Jadi selama terdapat informasi yang masuk dalam kategori diatas maka informasi tersebut dapat diketahui oleh publik.
Jika ditinjau dari UU KIP, SK DKP masuk dalam kategori surat keputusan pejabat negara tingkat eksekutif. Hal itu dapat dilihat dari kepala/kop surat yang tertulis Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Markas Besar Dewan Kehormatan Perwira. Patut kita ketahui bahwa ABRI merupakan bagian dari pemerintah yang melakukan penyelenggaraan negara di bidang pertahanan keamanan. Jadi setiap tindakan ABRI menyangkut penyelenggaraan negara harus diawasi oleh publik sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Pihak ABRI merupakan lembaga negara yang bertugas menegakkan hukum. Jadi konsekuensinya setiap tindakan administratif di lembaga tersebut selama mencakup pada Pasal 18 diatas merupakan informasi publik. SK DKP telah secara jelas merupakan produk keputusan yang menjadi bagian dari tindakan administratif yang dikeluarkan oleh ABRI.
Seperti yang dijabarkan diatas bahwa isi/substansi dari SK DKP tidak menyangkut hal-hal yang diatur di Pasal 17. Jadi dengan tersebarnya SK DKP tidak mengakibatkan timbulnya disharmonisasi di masyarakat. Karena sanksi administratif berupa pemberhentian jabatan yang ditujukan ke pejabat negara tidak berkorelasi dengan potensi disharmonisasi sosial atau terganggunya ketertiban umum.
Akan tetapi ketentuan status kerahasiaan SK DKP masih bisa diperdebatkan lagi. Hal itu dikarenakan pihak TNI belum menguji otentifikasi kerahasiaan dari SK DKP. Selain itu UU KIP juga memiliki mekanisme untuk menguji otentifikasi kerahasiaan suatu dokumen. Pihak yang berwenang untuk menguji yaitu Komisi Informasi. Seperti yang tercantum pada Pasal 26 ayat (1) UU KIP bahwa “Komisi Informasi bertugas :
a. Menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.”
Ketentuan diatas menunjukkan adanya mekanisme untuk menyelesaikan polemik terkait SK DKP yang beredar. Meskipun secara regulasi SK DKP masuk dalam kategori informasi yang dapat dipublikasikan. Akan tetapi perlu dipastikan juga statusnya melalui mekanisme penyelesaian yang disediakan demi kepastian hukum. Selain itu pihak TNI selaku Badan Publik belum melakukan klarifikasi terkait status kerahasiaan SK DKP tersebut. Maka sangatlah penting untuk memastikan status kerahasiaan SK DKP melalui penyelesaian di Komisi Informasi.
Penutup
Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil setelah dijabarkan analisis diatas, yaitu :
- Status kerahasiaan SK DKP dapat diuji otentifikasinya melalui mekanisme penyelesaian di Komisi Informasi untuk mendapatkan kepastian hukum.
- Menurut UU KIP, SK DKP masuk dalam kategori keputusan yang dapat dipublikasikan, akan tetapi perlu dipastikan juga apakah status kerahasiaan SK DKP masih berlaku atau tidak melalui mekanisme penyelesaian di Komisi Informasi.
- Mengingat saat ini memasuki era reformasi maka keterbukaan informasi sangatlah penting. Terkait SK DKP perlu diuji otentifikasinya bersamaan dengan pihak TNI sebagai Badan Publik karena sebagai pihak yang menyimpan, mengelola, dan memproduksi dokumen tersebut.
Gading
Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]