Selasa, 24 Juni 2014, telah diperdengarkan keterangan ahli dari Palyja pada lanjutan sidang Gugatan Warga Negara terkait Swastanisasi Air Jakarta di PN Jakarta Pusat. Agenda sidang masih melanjutkan acara pembuktian. Dalam kesempatan tersebut, Palyja menghadirkan M. Yahya Harahap, mantan hakim Mahkamah Agung yang dikenal dengan berbagai karyanya tentang hukum perdata dan acara perdata. Dalam persidangan, Yahya Harahap, memberikan keterangan seputar hukum acara perdata perihal surat kuasa khusus, pembatalan perjanjian melalui gugatan, gugatan warga negara (Citizen Law Suit), sahabat peradilan (amicus curiae), dan kebatalan perjanjian.
Persidangan yang dimulai pukul 14.30 WIB dibuka dengan pengambilan sumpah ahli dilanjutkan dengan sesi pertanyaan untuk para pihak. Kesempatan pertama diberikan kepada pihak yang menghadirkan yakni PT. Palyja selaku Turut Tergugat II. Palyja yang diwakili oleh kuasanya, Hendronoto Soesabdo, mengawali pertanyaan kepada ahli seputar keabsahan surat kuasa.
Dalam sesi tanya jawab dengan ahli, Muhammad Isnur, Kuasa hukum pihak penggugat dari Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) sempat melontarkan protes kepada majelis hakim terkait dengan pertanyaan yang diajukan oleh kuasa hukum dari Palyja. Alasan pihak penggugat melontarkan keberatan kepada pihak kuasa hukum karena permasalahan tentang surat kuasa khusus sudah pernah diajukan dalam eksepsi oleh para tergugat dan para turut tergugat. Selain itu, pihak penggugat menilai bahwa majelis hakim sudah memutuskan permasalahan legalitas surat kuasa melalui putusan sela dimana majelis hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh para tergugat beserta turut tergugat, sehingga tidak diperlukan lagi keterangan ahli terkait surat kuasa.
Tidak hanya memprotes hal tersebut, Arif Maulana, kuasa hukum pihak penggugat juga mengajukan keberatan kepada majelis hakim terkait dengan upaya kuasa dari turut tergugat I yang berulangkali mengarahkan ahli untuk menilai dokumen yang dijadikan sebagai bukti persidangan. Hal tersebut menyalahi fungsi ahli sebagai pihak yang hanya memberikan pendapat bukan menilai fakta.
Selanjutnya, kuasa hukum Palyja juga menanyakan kepada ahli terkait dengan alas hak penggugat dalam gugatan warga negara ini. Menjawab pertanyaan kuasa hukum Palyja, ahli menyebutkan bahwa alas hak penggugat dalam kasus gugatan warga negara adalah pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku penguasa. Beliau juga menambahkan bahwa dalam gugatan warga negara, tuntutan (petitum) yang diajukan kepada majelis hakim seharusnya adalah perubahan kebijakan dan bukan ganti kerugian secara perdata. Jika penggugat mengajukan ganti kerugian, lebih baik penggugat mengajukan gugatan melalui mekanisme Class Action, lanjut ahli.
Dalam permasalahan terkait dengan amicus curiae (sahabat peradilan), ahli menyatakan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, belum dikenal adanya amicus curiae sebagai salah satu alat bukti. Namun, beliau menambahkan bahwa pengajuan amicus curiae sebagai salah satu alat bukti di pengadilan dapat diajukan dalam kasus pelanggaran HAM. Keterangan ahli terkait dengan amicus curiae kemudian ditanggapi oleh pihak penggugat yang diwakili oleh Arif Maulana bahwa hukum Indonesia sudah mengakui amicus curiae. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, Komnas HAM dapat mengeluarkan amicus curiae dalam perkara pelanggaran HAM.
Sehubungan dengan permasalahan tentang pembatalan perjanjian, ahli menyatakan bahwa pembatalan perjanjian harus dimintakan pembatalannya melalui hakim dan yang bisa mengajukan pembatalan perjanjian ini adalah pihak yang ada dalam perjanjian yang merasa dirugikan oleh perjanjian itu. Namun, pernyataan ahli tidak konsisten, ketika kuasa hukum penggugat, Rahmawati Putri menyampaikan tanggapannya sehubungan dengan keterangan ahli. Rahma menanyakan apakah pihak yang berada di luar perjanjian dan merasa dirugikan dengan perjanjian memiliki kedudukan hukum untuk membatalkan perjanjian. Menjawab pertanyaan tersebut, ahli menyatakan bahwa pihak ketiga dapat mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan sepanjang pihak ketiga dapat membuktikan kerugiannya. Kedua belah pihak dalam perjanjian harus ditarik sebagai tergugat.
Terkait Masalah Gugatan Warga Negara, Arif mengajukan pertanyaan kepada ahli. Arif menanyakan jika terdapat disparitas dalam praktik pengadilan sehubungan dengan gugatan warga negara, bagaimana sikap pengadilan seharusnya dalam perkara gugatan warga negara. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh ahli dengan menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Jawaban ahli ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya’’. (Matthew)