Selasa (13/5) Serikat Buruh Berkumpul di LBH Jakarta untuk menyikapi militerisme di Pemilihan Presiden 2014. Kegiatan ini difasilitasi oleh LBH Jakarta dan Imparsial. Perwakilan serikat buruh/ pekerja yang hadir dalam kegiatan penyikapan militerisme di Pilpres 2014 yaitu Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), KSPSI, Nikeuba- KSBSI, SP. Johnson, SPSI DKI Jakarta, FSP LEM- SPSI, KSPSI-AGN.
Kegiatan ini dimulai dengan sambutan dari Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta. Ia menjelaskan bahwa buruh dalam memperjuangkan hak-haknya kerap dihalangi atau berhadap-hadapan dengan oknum militer, bahkan dalam suatu perusahaan mantan militer menjadi komisaris, ketika buruh menuntut perusahaan untuk memenuhi hak-hak buruhnya, perusahaan mempergunakan kekuatan militer atau polisi untuk menghadang para buruh. Menurut Mayong panggilan kesehariannya menjelaskan lebih lanjut bahwa pelaku pelanggaran HAM masa lalu, pelakunya harus mempertanggungjawabkannya seperti dalam kasus marsinah, ditengarai bahwa pelaku yang membunuh Marsinah adanya keterlibatan militer, sehingga kedepannya pelanggaran ham masa lalu tidak terulang lagi.
Setelah Mayong, Al Araf dari Imparsial menjelaskan lebih lanjut tentang Proyeksi bila militer berkuasa di Indonesia. Menurut Al araf dinamika militer dikaitkan dengan politik di Indonesia, dimana menguatnya militerisme tidak terlepas dari pergerakan buruh. Dinamika militer pada tahun 1998-2004 semakin kuat dimana pada tahun 2004 kekuatan militer justru semakin kuat misal munculnya UU Penanganan Konflik Sosial, UU Organisasi Kemasyarakatan (Legislasi). Jika Prabowo jadi Presiden menurutnya dipastikan akan menekan Pergerakan masyarakat sipil melalui legislasi (by Law). Menurut Aal sapaan akrabnya, hal yang harus dilakukan oleh masyarakat sipil khususnya kaum buruh adalah perlu membangun tekanan/ kekuatan dari masyarakat sipil untuk memastikan para militer tidak berpolitik seperti yang terjadi pada orde baru. Sehingga tatanan demokrasi yang kita bangun saat ini tidak dirusak oleh militer. Terbukti saat ini, dimana militer tidak berpolitik tapi nyatanya TNI bisa mempengaruhi parlemen untuk membuat UU. Maka jika salah satu Capres eks TNI terpilih menjadi Presiden sudah pasti akan berupaya membuat RUU Keamanan Nasional dimana UU tersebut akan menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan tindakan represif ujarnya.
Setelah penjelasan Al Araf, dilanjutkan diskusi dengan perwakilan serikat buruh. Perwakilan GSBI yang hadir dalam diskusi tersebut mengatakan jika Capres Eks Jendral yaitu Prabowo Subianto menjadi Presiden maka berpotensi mengulang kejadiaan masa lalu dan menurutnya sosok Prabowo belum tentu bisa menjamin untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni asing. Begitu juga ketika Jokowi akan berkuasa menjadi Presiden, bila Jokowi tidak berani mencabut UU yang represif belum tentu ada jaminan kepemimpinan Jokowi tidak akan menggunakannya karena UU tersebut masih ada.
Menurut Serikat Pekerja Johnson pandangan buruh sampai saat ini hanya berpikir bagaimana dan dengan cara bagaimana kehidupan buruh bisa tetap sejahtera dan lebih baik. Dan hal ini bisa tercapai jika kaum buruh berjuang. Jika perjuangan buruh ternyata sudah dibatasi maka perjuangan buruh akan sia-sia. Sehingga dalam menyikapi Militerisme di Pilpres 2014 ini hal yang harus dilakukanya itu membangun kesadaran buruh untuk tetap berjuang bukan menitipkan nasib kepada Capres tertentu apalagi menitipkannya kepada Capres eks Militer.
Menurut SP Lem- SPSI, dimana ia bekerja di perusahaan swasta, dimana dulu ia mempunyai pengalaman buruk dengan managernya yang merupakan eks militer pada tahun 1990an, ketika salah satu anggotanya melakukan kesalahan kecil anggotanya tersebut dihukum dengan cara tidak manusiawi.
Diakhir diskusi ini, para Serika tburuh/ Pekerja sepakat untuk membuat suatu aksi bersama dalam menyikapi militerisme dalam Pilpres 2014, dalam bentuk diskusi, melakukan penyadaran kekaum buruh yang ada dipabrik-pabrik, serta kampanye yang berkelanjutan.