Pernyataan sikap
Salam Demokrasi!
Ironis, sekaligus lelucon. Bagaimana tidak menjadi ironi dan lelucon, apabila dalam kurun waktu lebih dari 32 tahun kekuasaan Orde Baru dipimpin oleh Jenderal yang berlumuran darah ratusan hingga jutaan manusia Indonesia. Jenderal ini berhasil menghancurkan perjuangan pembangunan kebangsaan Indonesia, menghancurkan demokrasi demi modal Internasional, menjalankan kapitalisme-militeristik. Namun, 16 tahun yang lalu, gerakan mahasiswa dan rakyat dengan air mata, keringat dan darah berhasil menggulingkan rezim militeristik ini. Akan tetapi, euforia reformasi dan demokrasi 16 tahun yang lalu semakin jelas berbalik arah. Prabowo Subianto, mantan menantu “The Smiling” Jendral tersebut mencalonkan diri menjadi bakal calon Presiden periode 2014 -2019. Seperti yang diketahui oleh banyak kalangan, Prabowo Subianto sebagai Mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad adalah salah satu mantan Jenderal yang memiliki berbagai kasus kejahatan HAM, baik itu kasus di Timor Leste maupun kasus penculikan hingga pelenyapan aktivis-aktivis pejuang demokrasi pada tahun 1998- 1999, belum lagi kasus kerusuhan Rasial Mei 1998 yang mengakibatkan diperkosa, dibunuhnya perempuan Indonesia keturunan Tionghoa dan dibakarnya toko-toko milik warga keturunan Tionghoa.
Ironi sekaligus lelucon. Mahasiswa dan Rakyat berhasil menjatuhkan diktaktor militer, Soeharto, namun kini, Prabowo—Jenderal berlumuran darah, berhasil memperbesar kekuatan Partainya dan akan lolos menjadi Calon Presiden 2014. Lelucon memang, apabila demokrasi yang kita perjuangkan 16 tahun yang lalu, kini dimanfaatkan oleh Prabowo yang memiliki kasus-kasus kejahatan HAM.
Apakah ini demokrasi yang diperjuangkan untuk rakyat? Apabila tak ada sama sekali keadilan bagi keluarga korban Jenderal Penjahat HAM? Kasus-kasus Prabowo berakhir di Kejaksaan Agung, hingga kini. Tak pernah selesai, padahal sudah belasan tahun. Dan tak pernah ada surat penghentian penyidikannya.
Dalam pemilu 2004 – 2014, misalnya, mantan-mantan petinggi militer yang memiliki kasus kelam di masa lalu dengan mudahnya mendirikan partai. Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan Partai Demokrat. Dan rakyat tak menyadari bahwa SBY merupakan salah satu dalang di balik kasus 27 Juli 1996 bersama Suharto dan tak luput Sutiyoso, yang juga mendirikan PKPI. Sutiyoso bahkan ketika menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta selama 2 periode melakukan cara-cara militeristik dalam menghadapi demonstran dan rakyat miskin yang digusuri. Jenderal Wiranto juga mendirikan Partai Hanura. Wiranto juga terlibat kasus pelanggaran HAM termasuk kasus Mei 1998 dan sesudahnya.
Dan yang lebih berbahaya dari semua itu adalah mantan Letnan Jenderal Prabowo. Dengan sokongan besar dari adiknya yang pengusaha besar itu, Prabowo dengan mudahnya mendirikan Partai Gerindra. Dan pada pemilu sebelumnya Gerindra mendapatkan lebih dari 4% suara. Pada pemilu kali ini, baik Prabowo, Wiranto, dan Sutiyoso mencalonkan diri sebagai presiden. Mereka terlibat kasus-kasus besar pelanggaran HAM, namun yang miris, di negeri ini, para pelanggar HAM gampang mendirikan Partai dan mencalonkan diri sebagai Calon Presiden. Ironis!
Memang Ironis. Apalagi, sudah hampir 16 tahun paska momentum penting dalam sejarah negeri ini, Reformasi. Namun, salah satu cita-cita reformasi agar Indonesia bebas dari kekerasan militeristik nampaknya belum rampung. Justru sebaliknya, para pelaku, melenggang ke tampuk kekuasaan dengan memanfaatkan mekanisme demokratis: Pemilu, tanpa hambatan dan halangan.
Di sisi lain, regulasi yang menghambat demokrasi banyak yang sudah di sahkan, beberapa sedang berjalan, misalnya: Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, Undang-Undang Intelijen, Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Ormas, RUU Keamanan Nasional, RUU KUHP. Esensi dari adanya regulasi tersebut adalah satu, yakni: Stabilisasi Politik.
Dan pandangan stabilisasi politik dalam sejarahnya tak bisa dilepaskan dengan peran penting aparatus kekerasan bernama: TNI/POLRI.
Atas dasar itu lah, maka, sangat penting kembali untuk mengkampanyekan Platform anti/lawan militerisme. Agar rakyat kembali sadar bertapa berbahayanya militerisme dalam mengancam kebebasan, kemerdekaan dan kesempatan untuk sejahtera Platform anti/lawan militerisme dikampanyekan agar rakyat tak lupa pada sejarah. Platform anti/lawan militerisme ini juga untuk menyadarkan kaum pergerakan, bahwa militerisme belum dipukul habis, belum tuntas, bahkan perlahan dan pasti mulai menapaki kembali ke kekuasaan.
Melalui aksi ini kami menuntut kepada Kejaksaan Agung:
- Tangkap dan Adili Prabowo beserta Jenderal-Jenderal Penjahat HAM lainnya.
- Selesaikan kasus-kasus kejahatan HAM seperti kasus 1965, Marsinah, Tanjung Priok, Penculikan aktivis, Kerusuhan Mei, Trisakti dan Semanggi, dan berbagai kasus pelanggaran HAM lainnya.
Melalui aksi ini pula kami menyerukan kepada dunia Internasional melalui Persatuan Bangsa-Bangsa untuk memberikan tekanan kepada pemerintahan Indonesia karena tak ada satu pun kasus-kasus kejahatan HAM yang tuntas diselesaikan oleh Pemerintahan Indonesia sejak Soeharto jatuh hingga kini.
Kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat dan kaum pergerakan untuk memperjuangkan program-program demokrasi:
- Kembalikan TNI ke Barak!
- Ambil alih bisnis Militer ke tangan negara di bawah kontrol rakyat!
- Bubarkan Komando Teritorial!
- Cabut UU dan RUU yang anti terhadap Demokrasi: UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Ormas, UU Intelejen, RUU Keamanan Nasional, dsb
- Perubahan UU Partai dan Pemilu, Tak boleh lagi ada Penjahat HAM yang mendirikan Partai dan menjadi calon pemimpin tanpa proses pengadilan.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Salam Pembebasan! Salam Demokrasi! Terima kasih.
Jakarta, 13 Mei 2014
Maxxie
Juru Bicara
Indonesia Tanpa Militerisme ( KONTRAS, LBH Jakarta, KEPPAK Perempuan, Solidaritas.net, SPRI, SEBUMI, GSPB, PEMBEBASAN, PPR, dan Individu-Individu yang mendukung perjuangan)