Hukum tentunya selalu diperadukan dengan keadilan dan selalu disesuaikan, membicarakan hukum tentunya pasti membicarakan tentang keadilan, maka jika mendalami tentang hukum dan keadilan atau keadilan dan hukum tentunya terkait erat tentang Professional Responsibility dengan Legal Aid and Trust yang dilandasi dengan etika pula [1].
Di dalam ilmu hukum dikenal adagium yang dibuat oleh Cicero yang begitu terkenal, yaitu “ubi societis ibi uis”, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. kemudian ada juga pernyataan Benjamin Cordosa yaitu “hukum selalu tertatih-tatih mengejar perubahan masyarakat” [2].
Kondisi seperti yang tergambar dari kedua adagium dari para ahli hukum tersebut, mengharuskan peran para professional hukum yang menjalankan profesinya untuk berperan sebagai Agent of Change dan Agent of Modernization.
Agent of Change terhadap hukum dan masyarakat dapat dijadikan sebagai ‘gerobak’ pengangkut kemajuan terhadap hukum dan masyarakat sekaligus alat pendorong kemajuan, dan perkembangan yang wajib dikembangkan dengan sikap etis serta berpedoman pada etika yang hidup dalam masyarakat [3].
Uraian di atas jika dianalisis sangat sejalan dengan apa yang dilakukan oleh para organisasi bantuan hukum yang memiliki konsep Bantuan Hukum Struktural. Bantuan Hukum Struktural diharapkan menjadi alat yang dapat memajukan taraf hidup masyarakat baik secara finansial, pengetahuan, perlakuan oleh pemerintah, dll., tentunya dari segi hukum upaya perubahan tersebut dilakukan.
Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum [4]. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, bantuan hukum pada pokoknya memiliki arti bantuan hukum yang diberikan oleh para ahli bagi warga masyarakat yang memerlukan untuk mewujudkan hak-haknya, serta juga untuk mendapatkan perlindungan hukum yang wajar.
Perlu dijelaskan bahwa bantuan hukum itu juga merupakan salah satu pengendali sosial. Hal itu disebabkan karena sifat hukum yang juga dimiliki oleh bantuan hukum tersebut yang juga kemudian dibebani dengan tugas-tugas terutama dalam bidang hukum. sedangkan hukum sebagai pengendali sosial yang tugas pokoknya adalah menciptakan syarat pokok dan adanya suatu masyarakat yang bermasyarakat. Sedangkan dengan ketertiban yang berkaitan dengan bantuan hukum itu, yang pada akhirnya juga diperuntukkan tercapainya ketertiban dalam masyarakat. Pada ujung-ujungnya juga dimaksudkan bahwa ketertiban dimaksudkan untuk mengadakan kepastian dalam pergaulan antara manusia di dalam masyarakat [5].
Jasa hukum yang diberikan kualitasnya akan bergantung dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkontribusi dalam rangka pemberian jasa hukum. Salah satu pihak yang merupakan bagian dari proses pemberian jasa bantuan hukum adalah Pekerja Bantuan Hukum (PBH).
PBH memiliki peran yang sama dengan lawyer sebagaimana kita ketahui. Namun seringkali orang memandang para PBH ini secara sebelah mata, sebab para PBH ini tidak menerima fee/bayaran dari para pengguna jasa hukumnya, sehingga dianggap PBH tidaklah profesional dalam menjalankan perannya.
Jika ditinjau dari sisi sejarah, sebelum adanya istilah advokat, dikenal istilah preator yang membela orang-orang kecil yang miskin dan buta hukum yang tertimpa permasalahan hukum. Preator ini memiliki status sosial yang tinggi dan cukup kaya sehingga tidak memerlukan uang dari orang yang dibelanya (klien). Profesi preator ini amat dihargai dan dimuliakan orang sehingga dinamakan officium nobelium atau profesi yang mulia [6].
Jika ditinjau dari pengaturan kode etik, maka antara PBH dan advokat pada umumnya, maka akan terdapat semacam irisan pengaturan kode etik. Sebab PBH juga merupakan advokat, yang membedakan adalah tempat di mana ia bekerja, dan mekanisme profesi (terkait balas jasa atas bantuan hukum yang diberikan).
Lebih jauh, Alghif Aqsa, Pengacara Publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, di dalam blognya mengatakan bahwa Kode Etik PBH yang lahir pada tahun 1985 tetap eksis hingga kini, walaupun sekarang sudah ada Kode Etik Advokat. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor berikut [7]:
1. Tidak semua PBH di LBH/YLBHI merupakan advokat;
Di LBH/YLBHI tidak semua PBH merupakan advokat, sebagian berasal juga dari disiplin ilmu yang bukan hukum, misalnya ilmu politik, sosiologi, jurnalistik, komunikasi, filsafat, dll.
2. PBH merupakan aktivis politik;
Sebagaimana kehidupan hukum sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik, maka PBH sangat erat pula kaitannya dengan politik, namun tetap mengedepankan tindakan politik yang bersifat positif.
3. PBH memiliki posisi strategis;
Peran LBH/YLBHI yang senantiasa mengedepankan rule of law dalam memberikan bantuan hukum, menjadikannya sebagai organisasi yang dipercaya oleh masyarakat luas, dan menjadi semacam loomotif demokrasi di Negara Indonesia.
4. PBH memiliki tanggungjawab yang lebih berat;
Tidak seperti advokat pada umumnya, dalam menangani perkara, PBH memiliki tanggungjawab yang lebih luas, sebab konsep bantuan hukum yang diusung oleh LBH/YLBHI yaitu Bantuan Hukum Struktural, maka PBH harus memastikan bahwa edukasi kepada masyarakat tetap terlaksana dengan baik sejalan dengan proses perkara yang sedang ditangani.
Ardy Wirawan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[divider]
[1] IGN. Ridwan Widyadharma, Professional Hukum dalam Pemberian Bantuan Hukum, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010), hlm. Iii.
[2] Ibid., hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 2.
[4] Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
[5] IGN. Ridwan Widyadharma, Op. Cit., hlm. 26-27.
[6] Disadur dari blog Alghif Aqsa url: http://alghif.wordpress.com/2013/05/09/pekerja-bantuan-hukum-adalah-pekerja-profesional/, diakses pada Rabu, 16 April 2014, pukul 13.00 WIB.
[7] Ibid.
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]