“Apa yang kurang dari tuan-tuan ini adalah dialektika. Mereka hanya melihat sebab di sini, akibat di sana. Ini adalah suatu abstraksi kosong; kutub-kutub yang saling bertentangan ini terdapat dalam dunia nyata hanya dalam masa krisis, sementara proses besar seluruhnya berlangsung dalam bentuk interaksi – melalui kekuatan-kekuatan yang tidak setara…”[1]
Kata-kata diatas adalah ucapan Friedrich Engels dalam suratnya kepada Conrad Schmidt. Richard Robison mengutipnya ketika mengkritik ilmuwan-ilmuwan barat yang menelaah Indonesia (baca: di era Orde Baru) dalam bingkai studi cultural politics.[2]
Bertahun-tahun focus studi para Indonesianis berpusat pada analisa kultural dari kekuasaan dan konflik. Dijelaskan oleh Robison, pendekatan cultural politic mendasarkan analisanya pada dua proposisi yaitu:
- sifat dari pemerintahan bisa diterangkan pada dasarnya karena hegemoni perspektif budaya jawa yang mewarnai semua tubuh pemerintahan
- identitas dan struktur dari kekuatan-kekuatan politik dan sifat dari konflik politik adalah sangat ditentukan oleh keberadaan sifat negara yang patrimonial yang ditandai oleh hubungan ptron klien.[3]
Dua preposisi ini menurut Robison gagal menangkap dan menjelaskan dinamika relasi kekuasaan politik ekonomi yang terjadi sehari-hari dan menentukan karakter regim yeng berkuasa. Ia lalu memulai membongkar struktur bangunan politik Orde Baru yang ia sebut sebagai sebuah dinamika politik ekonomi dari fraksi politik orde baru yang diisi oleh sebuah kompleks persekutuan borjuasi asing dan tionghoa; kelas menengah teknokrat; dan kaum birokrat politik-militer.
Persekutuan tersebut bekerja dengan dua cara: pertama, ia menyelenggarakan infrastruktur politik, hukum dan ekonomi bagi eksistensi suatu bentuk kapitalisme yang menjadi wadah kepentingan persekutuan; kedua, dengan persekutuan-persekutuan politik dan ekonomi “pribadi” yang meluas anatara faksi-faksi birokrat politik dan komponen-komponen pedagang asing dan tionghoa.[4]
Dimensi rezim orde baru ini lah yang menurut Robison banyak diabaikan oleh para pendahulunya, sebab dimensi tersebut bukan suatu komponen inheren dalam kontruksi teori cultural. Sekalipun demikian, ia membantu menjelaskan suatu aspek fundamental kekuasaan yang tidak dapat dijelaskan oleh model patron-klien.
Kritik atas analisa cultural inilah yang kemudian melahirkan Bantuan hukum structural.[5] BHS melekat dengan pisau analisa kaum structuralis terhadap kekuasaan yang banyak bertumpu pada relasi kekuasaan ekonomi politik. Kendati cikal bakal BHS telah muncul sejak 5 tahun pertama LBH berdiri[6], namun baru 10 (sepuluh) tahun kemudian BHS menjadi pendekatan resmi yang dipakai LBH untuk melakukan kerja-kerja bantuan hukum yang membebaskan. Simaklah Adnan Buyung Nasution :
“Bantuan hukum hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi cultural akan tetapi juga aksi structural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. oleh karena itu bantuan hukum bukanlah masalah sederhana. Ia merupakan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belunggu poleksos (politik, ekonomi, social) yang sarat dengan penindasan”[7]
Strukturalisme v.s Post-strukturalisme
Ada dua perubahan structural yang hendak dicapai BHS. Mengutip Johan Galtung, Mulya Lubis menyebut bantuan hukum structural haruslah mencakup perubahan pada vertical division of labor dan feudal interaction structure, dan ini dilakukan melalui penciptaan pusat-pusat kekuatan (power resources) di dalam tubuh masyarakat.[8]
Kedua pola hubungan yang dijelaskan oleh Galtung mempunyai karakteristik yang sama yaitu repressive and exploitative, baik ditingkat makro maupun di tingkat mikro. Pola hubungan ini terjadi di semua bidang kehidupan social, politik, ekonomi, hukum dan budaya sehingga rakyat kebanyakan semakin tenggelam dalam kemelaratan dan kemiskinan.
Dalam prakteknya, para pekerja bantuan hukum LBH membumikan konsep tersebut dengan mengorganisir dan membangun basis-basis perjuangan warga baik di pedesaan maupun perkotaan, misalnya dengan mengorganisir Kaum buruh dan kaum miskin di perkotaan yang industrial, serta petani dan nelayan di pedesaan yang patrimonial dan feodal.
BHS sebagai sebuah cara pandang dapat berfungsi sebagai sebuah working ideology. Namun ia juga dapat dengan mudah terperosok dalam slogan kosong semata dan banal jika tidak mampu merumuskan program strategis.[9] Boleh jadi para pekerja bantuan hukum struktural menangani kasus yang bersifat struktual. namun mereka tidak sedang melakukan dan membangun gerakan bantuan hukum structural. Ini terjadi karena mereka melupakan komponen “gerakan” dalam BHS. Komponen Gerakan ini sangatlah ideologis dan juga praksis.[10] Karena partisipasi dan pendayagunaan sumber daya hukum di masyarakat merupakan prasyarat mutlak dari penanganan kasus litigasi maupun non litigasi serta advokasi kebijakan.
Hal ini menuntut kerja-kerja bantuan hukum untuk lebih menggalakan terjadinya mobilitas social dan mobilitas geografis dan secara berkala harus diadakan evaluasi kritis tentang apa yang sudah dicapai dan apa yang harus dicapai. dalam konteks ini BHS harus lebih banyak turun ke bawah, karena pekerjaan penciptaan pusat-pusat kekuatan itu harus dimulai di bawah.
Yang tidak terbaca oleh BHS
Memang pola ketimpangan structural sebagaimana disebutkan Galtung di atas belumlah lenyap. Sehingga sebagai sebuah cara pandang, BHS tetap relevan. Namun demikian, jika dicermati konsep BHS tersebut tidak dapat menjelaskan setidaknya dua hal yaitu:
- Konsep dan relasi kuasa (power relation) yang lebih dinamis dan plural. Kekuasaan yang timpang –represi dan ekspolitasi — kini tersebar tidak hanya dimonopoli oleh relasi kekuasaan politik-ekonomi.
- Pada saat yang sama analisis struktural tidak cukup mampu menjelaskan aktor-aktor kuasa yang berserakan maupun aktor-aktor perlawanan yang juga berserakan di luar kaum proletariat.
Adalah Michel Foucault yang memberikan pengertian power/kekuasaan melebihi pandangan strukturalis. Bagi Foucault power tidak melekat pada subjek[11], dalam struktur social maupun kelas social[12]. Power bukanlah sebuah fungsi kesadaran melainkan eksis saat dijalankan (exercising) atau pada tindakan yang ekspresive.
“ Power must be analyzed as something which circulates, or rather as something which only functions in the form of a chain. it is never localized here or there, never in anybody’s hands, never appropriated as a commodity or piece of wealth. Power is employed and exercised through a net-like organization. And not only do individuals circulate between its threads; they are always in the position of simultaneously undergoing and exercising this power. they are not only its inert or consenting target; they are always the elements of its articulation. In other words, individuals are the vehicles of power, not its point of application”[13]
Untuk lebih menjelaskan dua hal tersebut diatas, patutlah kiranya menengok apa yang disampaikan oleh Laclau dan Mouffe. Banyak dipengaruhi oleh pemikiran Foucalt, bagi keduanya, kehidupan sosial ditandai oleh bermacam-macam posisi dan antagonisme. Karena itu maka mustahil munculnya keadaan yang menunjukkan “diskursus yang disatukan” seperti yang oleh Marx dibayangkan berada di sekeliling kelas Proletariat. “diskursus universal tentang proletariat telah digantikan oleh bermacam-macam suara yang masing-masing membangun identitasnya sendiri yang tak berhubungan satu dengan yang lain.”[14]Jadi ketimbang memusatkan perhatian pada diskursus tunggal mengenai proletariat, teoritisi Marxian didesak untuk memusatkan perhatian pada pada sejumlah diskursus beraneka ragam yang berasal dari suara golongan yang terampas haknya seperti golongan wanita, kulit hitam, kaum ekologis, imigran, konsumen dan sebagainya. Akibatnya teori Marxian ter-desentralisasi (decentralized) dan terdetotalisasi (detotalized) karena tidak lagi hanya memusatkan perhatian pada proletariat dan tidak lagi melihat masalah proletariat sebagai masalah dalam masyarakat.[15]
Setelah menolak memusatkan perhatian pada faktor material dan proletariat, Laclau dan Mouffe kemudian menolak komunisme, termasuk emansipasi proletariat, sebagai tujuan teori Marxian. Sebagai alternatifnya, mereka mengusulkan sistem yang diberi nama “demokrasi radikal”. Sebagai pengganti pemusatan perhatian pada hak demokrasi individual, mereka mengusulkan untuk “menciptakan Hegemoni baru yang akan menjadi hasil artikulasi sejumlah besar perjuangan demokrasi.”[16] Apa yang dibutuhkan dalam hegemoni baru ini adalah “hegemoni nilai demokrasi dan ini memerlukan praktik demokrasi yang berulang kali, melembagakannya menjadi hubungan sosial yang makin beraneka ragam.[17] Demokrasi radikal berupaya membangkitkan kesadaran bersama dibawah payung besar perjuangan demokrasi yang meliputi anti ras, antiseksis, antikapitalis, anti exploitasi alam,[18] dan banyak lagi lainnya. Jadi inilah demokrasi radikal dan plural.[19] Perjuangan satu kelompok tidak boleh merugikan kelompok lain. Seluruh perjuangan demokratis harus dilihat sebagai perjuangan yang sederajat. Dengan demikian perlu membangkitkan perjuangan bersama ini dengan memodifikasi identitas mereka sedemikian rupa sehingga kelompok-kelompok itu melihat diri mereka sebagai bagian perjuangan lebih luas untuk mencapai demokrasi radikal. Seperti dinyatakan Laclau dan Mouffe :
“ alternatif yang ditawarkan aliran kiri terdiri dari upaya menempatkan diri sendiri di bidang revolusi demokratis dan memperluas ikatan kesederajatan antara berbagai perjuangan menentang penindasan. Karena itu tugas aliran kiri tidak boleh meninggalkan ideologi demokrasi liberal, tetapi sebaliknya memperdalam dan memperluas menurut arah demokrasi plural dan radikal… bukan meninggalkan bidang demokrasi, melainkan memperluas bidang perjuangan demokrasi keseluruh negara dan masyarakat sipil yang kemungkinannya terletak pada strategi hegemoni aliran kiri.”[20]
Sementara demokrasi radikal tetap bertujuan melenyapkan kapitalisme, ia mengakui bahwa penghancuran kapitalisme tidak akan menghilangkan ketimpangan lain dalam masyarakat. Untuk menanggulangi seluruh ketimpangan sosial diperlukan gerakan yang jauh lebih luas daripada yang dibayangkan oleh teoritisi marxis tradisional.
Dengan memahami Laclau dan Mouffe, maka cara kita memandang bantuan hukum pun berubah. karena praktik ketidakadilan dan para penindas tidak lagi hanya di dominasi elite Negara dan pasar, karena actor-aktor lain bertumbuhan dalam wujud praktik intoleransi keagamaan, prilaku rasial, diskriminasi berdasarkan orientasi sex dan gender, dll. Konsekuensinya, medan pertarungan pun berubah, fundamentalism dan politik identitas menjadi tantangan terbesar kehidupan berbangsa saat ini.
Perubahan medan pertarungan ini juga menjadi gambaran dari problem transisi demokrasi di Indonesia.[21] Pasca 1998, proses transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi lebih dapat mencapai hal-hal yang bersifat demokrasi prosedural, tidak secara substantive. Elemen-elemen demokrasi tumbuh dan berkembang namun sangat miskin dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi etika politik, Hak asasi Manusia dan rule of law.
Transisi demokrasi di Indonesia jelas menghasilkan satu kongsi dari sebuah kompleks persekutuan antara militer, pemodal dan kaum fundamentalis.[22] Lebih dari separuhnya merupakan para penopang rezim Orde Baru. Kini rejim SBY jilid 2 telah berfungsi untuk mengintegrasikan persekutuan dalam tiga cara :
- Meneruskan dan melestarikan penyelenggaraan infrastruktur politik, hukum dan ekonomi bagi eksistensi suatu bentuk kapitalisme (baca: neoliberalisme) yang menjadi wadah kepentingan persekutuan.
- Membangun kembali infrastruktur politik, hukum dan ekonomi bagi eksistensi suatu bentuk militer yang baru yang menjadi penopang stabilitas persekutuan.
- Menyelenggarakan infrastruktur politik, hukum dan ekonomi bagi eksistensi suatu bentuk faksi politik fundamentalis.
Cara pertama mencapai tujuannya melalui strategi umum pertumbuhan ekonomi, kebijakan-kebijakan menyangkut infrastruktur, subsidi, kredit, upah, neraca keuangan dan kebijakan moneter. Hal tersebut tersebut juga bisa kita lihat dari ambivalensi Negara dalam menyikapi berbagai regulasi yang terbentuk dalam kerangka geo-ekonomi-politik. Peran negara sebagai instrumen proteksi, prevensi dan promosi pada HAM hingga saat ini tidak berjalan karena ambivalensi antara berpegang teguh pada konvensi PBB atau pada konvensi WTO dengan ideologi neoliberalismenya. Berbagai regulasi yang dijalankan oleh sistem WTO telah mengurangi hak-hak buruh, merampas hak-hak petani, mengurangi atau bahkan mengeliminasi regulasi-regulasi negara bagi perlindungan lingkungan, liberalisasi sektor pertanahan, termasuk memotong subsidi untuk pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Suatu kondisi yang berdampak pada situasi dimana ketimpangan struktural menjadi jauh lebih kompleks.
Cara kedua dapat kita lihat bagaimana peran dan posisi TNI pasca tumbangnya rezim Orde Baru. ia mencapai tujuannya melalui transaksi politik antara kepentingan militer dengan kepentingan kaum pemodal dan kaum fundamentalis.
Cara ketiga memperlihatkan pada kita bagaimana birokrat politik dari faksi fundamentalis hendak mencapai kepentingannya dengan membarter RUU Kerukunan Umat Beragama, SKB Ahmadiyah dan Pendirian tempat Ibadah dengan memuluskan kontrak, lisensi, konsesi dan kebijakan yang menjadi kepentingan kaum pemodal, serta fraksi politik dengan militer. Barangkali inilah yang dapat menjelaskan meningkatnya eskalasi kekerasan keagamaan selama 5 tahun terakhir. kasus FPI, prosekusi terhadap jemaat Ahmadiyah, kriminalisasi keyakinan, hambatan pendirin tempat ibadah, konflik antar suku, dan kekerasan terhadap kaum LGBT.
Dalam irisan transaksi politik dari tiga elemen fraksi inilah kekuasaan SBY jika menunjukan karakternya. maka dapat kita simpulkan bahwa seluruh agenda pemerintahan lebih sekedar untuk melayani dan mengakomodasi tiga kepentingan besar tersebut, sementara kepentingan rakyat kebanyakan menjadi prioritas yang kesekian.
Cara membaca tersebut di atas jelas akan mempengaruhi pula program dan cara kerja bantuan hukum, baik dalam penanganan perkara maupun dalam penelitian, pengembangan, penyadaran dan advokasi kebijakan. Dimensi structural yang sebelumnya telah diperhatikan, mengalami proses dialektika yang lebih aktif dengan mengidentifikasi secara lebih detil dan dalam pola-pola hubungan tidak setara antara penguasa sumber daya social, ekonomi, politik, hukum dan budaya dengan mayoritas rakyat banyak yang tertindas, juga pola-pola represi dan eksploitasi yang dilakukan oleh mayoritas kelompok identitas tertentu terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Praksis dari Bantuan Hukum Post-Struktural
Seperti dijelaskan di muka, bahwa pembebasan dari ketertindasan yang dimaksud haruslah tidak lagi berpusat pada vertical division of labor dan feudal interaction structure, malinkan dapat diperluas pada penciptaan pusat-pusat kekuasaan baru di dalam tubuh masyarakat yang plural. penggalaan mobilitas social dan demografis tidak lagi melulu di fokuskan pada kaum buruh dan petani, melainkan juga pada maysrakat adat, kelompok LGBT, perempuan, kelompok minoritas keagamaan, kelompok konsumen, pencinta lingkungan dan lebih banyak lagi.
Untuk lebih melihat bagaimana pembacaan Bantuan Hukum post-struktural lebih praksis dan dapat menjadi working ideology, kita dapat melihat dari kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta dalam enam tahun terakhir. Meskipun secara umum jumlah pengaduan ke LBH Jakarta dalam enam tahun terakhir relatif stabil [chart 1], namun dalam rentang waktu delapan tahun terakhir, eskalasi kasus-kasus kekerasan yang mengexpresikan menguatnya political identity semakin meningkat.[23]
Chart 1. Jumlah Pengaduan dan Jumlah orang terbantu
s
Sumber : Litbang LBH Jakarta 2009[24]
Dalam kurun waktu tersebut, kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta semakin beragam meski pada saat yang sama, basis social perkotaan masih menempatkan kaum buruh dan kaum miskin perkotaan dalam posisi yang terus mendominasi pengaduan. Kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terus meningkat. hal yang sama juga terjadi dalam pembubaran paksa pertemuan-pertemuan dan penyerangan terhadap kaum LGBT.
Untuk lebih melihat perbandingan operasional dari Bantuan Hukum Struktural (BHS) dan Bantuan Hukum Post-Struktural (BHPS) dapat dilihat dalam tabel berikut:
BHS[25] |
BHPS |
|
Orientasi wilayah geografis |
Mengubah orientasi bantuan hukum dari perkotaan menjadi pedesaan |
Tidak ada dikotomi kota atau desa. |
Sifat bantuan Hukum |
Membuat sifat bantuan hukum berubah menjadi aktif |
Lebih responsive |
Pendekatan Advokasi |
Mendayagunakan lebih banyak pendekatan di luar hukum |
Strategic litigation dan pengembangan sumber daya hukum masyarakat (PSDHM) |
Networking |
Mengadakan kerjasama lebih banyak dengan lembaga-lembaga social lain |
Perluasan jaringan kerja |
Partisipasi Masyarakat |
Menjadikan bantuan hukum sebagai gerakan yang melibatkan partisipasi rakyat banyak (facilitator) |
Menekankan elemen “gerakan” dalam tiap penanganan kasus |
Jenis Kasus |
Mengutamakan penanganan kasus-kasus yang sifatnya structural |
Kasus structural dan berbasis HAM (right based advocacy) |
Arah Perubahan Hukum |
Mempercepat terciptanya hukum-hukum (responsive law) yang menunjang perubahan structural. |
Legal and institutional reform untuk memperkuat konsolidasi demokrasi substantive (tidak prosedural semata). |
[1] Friedrich Engels dalam letter to Conrad Schmidt 27 october 1890 juga dalam Richard Robinson, “Culture, Politics and Economy in the Political History of the New Order”, August 1979
[2] lihat Clifford Geertz dalam The Religion of Java, Chicago University press, 1980, lihat juga Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture and Politic in Indonesia, Cornell University Press, 1972, lihat juga Donald Emmerson, Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Cornell University Press, 1976. juga Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, University of California Press, 1972.
[3] Richard Robison, off. cit.
[4] off.cit.
[5] T. Mulya Lubis, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural”, Penerbit LP3ES, 1986 hal 156
[6] T.Mulya Lubis “ …We may thus conclude that the problem of legal aid depends very much on the Governmental system of a nation. it also dependent on the political will of the ruling class.” dalam , Legal Aid in Indonesia (five years of Lembaga Bantuan Hukum), Penerbit LBH Jakarta, 1975
[7] Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1981
[8] Johan Galtung, A Structural Theory of Revolutions (Roterdam University press, 1974)… vertical division of labor/ pola hubungan masyarakat yang berkelas dan feudal interaction structure/ Pola hubungan yang mengikat segelintir elite di puncak sementara lapisan rakyat terbesar dibawah dipecah-pecah.
[9] Mulya Lubis 1986. off. cit h. 160 : tanpa pemahamamn akan keadaan, program yang terencana dan sasaran yang pasti, BHS akan berhenti sebagai ideologi yang kosong, dan para pekerja bantuan hukum akan menjadi pemberang-pemberang social yang sebetulnya tidak lebih dari articulators of dissent.
[10] ibid hal 161.
[11] konsep power yang melekat pada subjek lihat dalam Steven Lukes, Power; A Radical View. London; Macmillan, 1986
[12] konsep power yang melekat pada struktur social dan kelas social dapat dilihat dalam Talcot Parson, “Power and Social system” dalam Steven Lukes (ed), Power oxford: Basil Blackwell
[13] Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. New York, Pantheon Books, 1980, hal 98 , lihat juga dalam Daniel Hutagalung, Power dan Hegemoni, Makalah dalam Kalabahu LBH Jakarta 2004.
[14] Laclau, Ernesto and Mouffe, Chantal, 1985, Hegemony and Socialist Strategy: Toward Radical Democratic Politics. London, verso hal 191
[15] George Ritzer and Douglas J Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern edisi ke 6, Jakarta, Kencana
[16] Mouffe, Chantal, 1988, Radical Democracy : Modern or Postmodern?” in A Ross (ed), Universal Abandon ? the Politic of Postmodernism, Minneapolis, University of Minnesota Press, hal 41
[17] Ibid, hal 41
[18] Eder, Klaus, 1990, “The Rise of Counter-Culture Movement Against Modernity: Nature as a New Field of Class Struggle” Theory, Culture, and Society 7, hal 21
[19] Laclau, Ernesto, 1990, “Coming Up for Air”, Marxisme Today, March, hal 27
[20] Op.Cit, Laclau and Mouffe, hal 176
[21] Juan J. lintz dalam “Problem of Democratic, Transition and Consolidation, 1996
[22] Lihat bangunan struktur Kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang merupakan koalisi dari Partai Democrat, Golkar, PAN, PPP, PKB, PKS dan Sekretariat Gabungan (Setgab) di DPR yang diketuai oleh Golkar.
[23] Tahun 2002, Jamaah Ahmadiyah Indonesia Cabang Pancor, Lombok, mengalami penyerangan yang mengakibatkan 81 unit rumah, 8 toko, 1 mesjid, dan 1 mushala dihancurkan. lihat Monthly report Wahid Institute, setidaknya 5 kasus terkait pelanggaran kebabasan beragama dan berkeyakinan terjadi tiap bulan sejak 2007. Lihat juga Laporan Investigas LBH Jakarta dan KontraS, 2008. konfrensi Pers LBH Jakarta mengenai data kekerasan oleh FPI tanggal 9 Agustus 2010.
[24] Laporan Hukum dan HAM- Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Jakarta Tahun 2009, “Summum Ius Summa Inuira”
[25] Mulya Lubis, Op cit, hal 16