Aksi penegak hukum yang mengakali hukum harus mendapatkan balasan setimpal. Oknum polisi ini kerap menyiksa para tersangka, yang belum tentu pelaku kejahatan, berlindung dibalik baju korps hukum namun kelakuannya tak ada bedanya dengan para penjahat jalanan yang mengedepankan kekerasan.
Adalah dua pengamen Cipulir, Jakarta Selatan yakni Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto, yang menjadi korban salah tangkap polisi. Mereka dituduh polisi melakukan pembunuhan Dicky Maulana. “Keduanya cukup lama menderita. Mulai saat penangkapan di mana mereka bersama 4 terdakwa lainnya yang masih di bawah umur – yang perkaranya diajukan secara terpisah.”
Pengacara kedua pengamen ini dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Johanes Gea mengatakan Andro dan Nurdin pernah mengaku mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan selama masa penyelidikan dan masa penahanan oleh Polisi. Mereka kerap dipukul, disetrum, ditendang, dan diinjak- injak dengan tujuan dipaksa mengaku atas perbuatan pembunuhan yang tidak mereka lakukan. “Kapolda Metro Jaya agar segera menindak tegas aparatnya yang melakukan penyiksaan,” ujar Johanes.
Kabar baiknya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus bebas Andro dan Nurdin dalam kasus pembunuhan Dicky . Dalam putusan banding Majelis Hakim Nomor 50/PID/2014/PT DKI menyatakan, kedua pengamen itu tak terbukti secara sah dan meyakinkan (reasonable doubt) melakukan pembunuhan.
Tuduhan dalam Pasal 338 dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana pengeroyokan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Ayat (2) ke-3 KUHP tidak terbukti. Sebelumnya pada Juni 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mereka divonis tujuh tahun penjara.
Dalam persidangan Senin (28/4) lalu, Majelis Hakim Banding mengungkapkan fakta mengejutkan tentang pembunuhan Dicky, “Ada saksi yang mengungkapkan pembunuh merupakan orang lain,” ujarnya.
Selain kekuatan saksi, tidak ditemukannya alat bukti pembunuhan juga merupakan pertimbangan bagi Majelis Hakim untuk membebaskan keduanya. Johanes menilai putusan majelis merupakan putusan yang adil, “Mereka dapat melihat hal yang benar pada golongan miskin, ini mendobrak rasa pesimistis masyarakat terhadap hukum yang memihak,” ujarnya.
Putusan ini, menurut Johanes, sekaligus mengamini dugaan keras LBH Jakarta terjadinya pelanggaran hak Asasi Manusia (HAM) terhadap para terdakwa oleh polisi. Dugaan pelanggaran HAM itu berupa penyiksaan untuk memperoleh pengakuan, juga pelanggaran hukum acara pidana yang menggunung.
“Hal ini dapat kita lihat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang bertolak belakang dengan isi putusan. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan kejahatan bisa mengaku bersalah, jika ia dihadapkan pada kengerian dan rasa takut terhadap tindakan yang mengancam nyawanya? Polisi harus bertanggungjawab dalam kasus ini,” tandasnya. (gresnews.com)