Dengan total 342 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, ada banyak desakan yang muncul supaya Pemerintah pusat bersikap lebih tegas. Apalagi korban-korban Perda semacam ini sudah berjatuhan, tanpa jelas betul Pemerintah pusat atau daerah yang semestinya lebih tegas bertindak.
Tiga tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim untuk meninjau ulang pelaksanaan Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Tim yang dibentuk setelah ada banyak desakan dari kalangan aktivis perempuan ini terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Negara PP dan PA.
Hasil kerja tim ini adalah Parameter Kesetaraan Gender, yaitu pedoman bagi Pemda untuk membuat peraturan perundangan supaya tak diskriminatif terhadap perempuan. Isinya dari prinsip keseteraan gender, indikator kesetaraan gender dalam peraturan, serta mekanisme pengawasan peraturan perundangan yang dianggap sudah responsif gender.
Tapi yang baru terjadi sampai sekarang adalah proses sosialisasi. Menurut Asisten Deputi Gender dalam Hukum di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PP dan PA) Sri Prihatin Lestari Wijayanti, sosialisasi menguras banyak tenaga karena masih banyak pejabat Pemda dan DPRD yang belum paham makna ‘diskriminasi terhadap perempuan’.
“Sulit memang untuk mengubah paradigma Pemda dan DPRD. Umumnya mereka menganggap bahwa Perda ini dibuat untuk mengubah perempuan agar menjadi berakhlak baik dan diinginkan agama, membuat perempuan menjadi tak banyak keluar malam,” jelas Sri. “Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih dipandang sebagai makhluk kelas dua.”
Sasmita, bekas Dirjen Perundang-undangan dari Kementerian Hukum dan HAM, mengatakan, proses sosialisasi juga belum rampung lantaran ada banyak provinsi dan kota yang harus disambangi. Total ada 34 provinsi dan 497 kota yang mendapatkan sosialisasi soal parameter gender ini.
Tapi Sri memperkirakan kerja sosialisasi ini di masa mendatang bakal makin berat.
“Tim ini baru berjalan dalam tahap sosialisasi dan belum selesai karena tim berjalan hanya setahun saja,” jelas Sri soal tim yang sekarang sudah bubar itu.
Perda asal-asalan
Menurut Sasmita, sejumlah daerah terlihat tak serius dalam membuat Perda.
“Tipikalnya, banyak Pemda yang kemudian ingin berprestasi, maka mereka kemudian mencontoh Perda daerah lain dan ingin membuatnya. Karena uangnya ada dan proyek harus jadi, maka banyak Pemda yang kemudian membuat Perda yang asal-asalan,” jelasnya.
Padahal salah satu panduan dari Kemenkumham sudah jelas yaitu menyesuaikan Perda dengan karakteristik lokal dan tidak mengandung diskriminasi.
“Namun yang terjadi justru sebaliknya. Karakteristik norma justru yang dipilih,” jelas Sasmita.
Salah satunya adalah Perda di Bulukumba yang mewajibkan semua perempuan memakai jilbab, termasuk perempuan nonmuslim. Atau di Lhokseumawe yang mengeluarkan Perda antimengangkang bagi perempuan karena kegiatan tersebut dianggap tidak sopan.
“Padahal harusnya Perda disesuaikan dengan kultur keberagaman daerah masing-masing. Ini artinya setiap daerah juga harus mendengarkan suara-suara masyarakat yang beragam.”
Sementara itu Mohammad Isnur dari LBH Jakarta menuding ada jual beli anggaran di balik lahirnya Perda diskriminatif tersebut.
“Anggota DPRD setempat hanya mengeluarkan peraturan yang menyenangkan partai politik,” kata Isnur. Situasi ini masih ditambah lagi dengan masih adanya kesenjangan pengetahuan dan pemahaman antara si caleg, pengurus partai dan anggota DPRD.
“Di sini jelas terdapat transaksi jual beli politik. DPRD punya anggaran untuk membuat Perda, lalu dibuatkan Perda untuk perempuan. Inilah politik yang berpedoman hanya untuk menghabiskan uang anggaran, namun ternyata merugikan perempuan. Perda dibuat untuk menyenangkan partai politik dan pemerintah yang berkuasa,” jelas Isnur.
Di mata LBH Jakarta, tim yang ditunjuk untuk menyelesaikan Perda diskriminatif berjalan dengan buruk.
“Tidak ada yang bekerja efektif, hanya dibentuk namun tiba-tiba tidak ada kabarnya. Ini malah tiba-tiba dibubarkan sebelum ada hasilnya,” keluh Isnur.
“Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat tak pernah punya sikap, SBY terpasung pada partai-partai koalisinya. Dan dalam konteks ini korbannya adalah perempuan. Ini blunder dalam pemerintahan SBY.”
Agama sebagai strategi
Menurut Mohamad Isnur dari LBH Jakarta, agama dan perempuan kerap jadi sasaran selama masa pemerintahan SBY.
“Jadi perempuan dijual karena dianggap normatif dan agama sebagai strategi untuk menjalankan agenda ini,” jelasnya. “Jika perempuan menolak untuk mematuhinya, pasti akan dianggap sebagai orang yang berdosa karena menolak Perda yang mengatasnamakan perintah agama.”
Meski Komnas Perempuan terlibat menyosialisasikan bahaya di balik Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, nyatanya makin banyak Pemda yang mengeluarkan aturan hukum yang menomorsekiankan perempuan.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah bercerita, Pemda Sukabumi tengah membahas Raperda Syariah yang mewajibkan anak di bawah umum untuk menikah demi menghindar dari zinah. Raperda lain yang tengah dibahas misalnya mewajibkan siswi perempuan memakai jilbab di sekolah.
Menurut Masruchah, Perda seperti ini terus bertambah salah satunya karena Pemda merasa bangga jika semua warganya mematuhi Perda yang berkonteks agama.
“Karena ini artinya warga patuh pada aturan agama,” kata Masruchah.
Karena itulah Komnas Perempuan mencoba memutus lingkaran setan ini dengan melakukan audiensi ke sejumlah pihak. Misalnya audiensi ke Presiden, ke Kementerian, atau mengajak lembaga lain seperti Komisi Ombudsman, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
“Persoalan Perda diskriminatif tersebut tak hanya menimpa perempuan namun implikasinya lebih luas juga terhadap anak-anak, hak asasi manusia secara umum dan dukungan lembaga lain jika terjadi persoalan yang merugikan perempuan,” jelas Masruchah.
Tapi jalan yang ditempuh tak mulus.
LBH Jakarta bersama jaringan advokasi perempuan pernah menggugat sejumlah Perda diskriminatif. Di tahun 2006, gugatan diajukan terhadap Perda Larangan Pelacuran di Bantul serta Perda tentang Jam Malam dan Pelarangan Pelacuran di Tangeran ke Mahkamah Agung. Tapi keduanya gagal – MA menolak judicial review kedua Perda tersebut.
Isnur melihat ada keengganan dari Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan agama yang terkait dengan intoleransi.
“Pemerintah patuh pada kasus-kasus yang menyerang agama-agama di Indonesia. Tak hanya kebebasan beragama, korban yang sekarang yaitu perempuan. Perempuan diserang dari sudut agama. Agama menjadi strategi yang ampuh untuk menaklukkan perempuan.” (portalKBR.com)