Pelanggaran terhadap hak untuk mengemukakan pendapat, berkumpul, dan berorganisasi rupanya masih hidup di era reformasi. Parahnya, pelanggaran itu terjadi di lingkungan kampus. Padahal, kampus harus mampu menyediakan ruang untuk belajar mengemukakan pendapat dan berorganisasi.
Kemarin, sejumlah perwakilan mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) mengadukan pemberangusan yang disertai pembubaran terhadap organisasi-organisasi kemahasiswaan di kampusnya kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Mereka menyatakan telah terjadi pelanggaran hak berdemokrasi dan pemberangusan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang kritis oleh pihak kampus.
Tak hanya itu, sejumlah mahasiswa yang kritis menolak kebijakan kampus juga diberikan sanksi akademik seperti skorsing hingga di-Drop Out (DO) atau dikeluarkan dari universitas.
Perwakilan mahasiswa Untag, Mamat Suryadi menyatakan, kisruh di kampusnya bermula pada 2010 saat terjadi pergantian ketua yayasan. “Sejak itu kampus jadi mulai otoriter, dulu ada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas dan Universitas, lembaga pers mahasiswa, kelompok pecinta alam, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang budaya, seni, dan teater, tapi pada 2013 semuanya dibubarkan oleh yayasan yang didukung oleh pihak rektorat,” paparnya.
Tak hanya itu, sejumlah pungutan dan denda yang baru diberlakukan juga dinilai sangat memberatkan para mahasiswa yang kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. “Teman-teman yang menolak kesewenang-wenangan ini malah diskorsing dan di-DO dari universitas,” keluhnya.
Mamat mengaku dirinya dan sejumlah mahasiswa lain menggelar aksi menolak kesewenang-wenangan tersebut di depan kampusnya pada 19-20 Desember 2013 lalu. “Tapi pasca demonstrasi itu kami malah lansung diskorsing bahkan ada yang di-DO, kami lihat Untag yang sekarang sudah otoriter dan jauh dari Tridarma perguruan tinggi,” protes Mamat yang kena sanksi Drop Out oleh kampusnya.
Mahasiswa lainnya, Patrisius Berek, mengaku sangat kecewa atas sanksi skorsing selama 5 semester yang dijatuhkan kepadanya karena ikut berdemonstrasi di depan kampus. “Ini sudah melebihi apa yang terjadi, apalagi bagi saya yang putra daerah, surat skorsing yang diterima orang tua saya membuat mereka sampai patah semangat untuk menguliahkan saya,” tuturnya.
Dia berharap kampus segera mencabut sanksi yang diterimanya agar dia bisa kuliah lagi. “Denda keterlambatan semesteran Rp 25 ribu perhari sangat memberatkan saya, bahkan untuk ikut ujian susulan kami disuruh bayar Rp 200 ribu per matakuliah, ini kan kampus kaum marginal tapi kok jadi kampus komersil seperti ini,” kesalnya.
Perwakilan alumni Untag, Gigih Sari Alam, mengaku tak habis pikir dengan masalah yang terjadi di almamaternya. “Ini mahasiswa diskorsing tak tanggung-tanggung, minimal 4 semester, ini jelas sudah melanggar hak manusia dalam menempuh pendidikan,” tegasnya.
Dia melihat pembubaran organisasi kemahasiswaan adalah upaya memberangus pemikiran kritis dari mahasiswa terhadap kebijakan kampus. “Sejak ketua yayasan yang baru berkuasa ada 20 organisasi kemahasiswaan yang dibubarkan, kami sudah pernah melaporkan ini ke Komnas HAM dan Komnas juga sudah menyurati Untag tapi tidak ada tanggapan, “ katanya.
Pengacara publik dari LBH Jakarta, Nelson Simamora menyatakan, kasus seperti ini seharusnya tidak terjadi lagi di zaman reformasi. “Di jaman Orde Baru mahasiswa bisa berorganisasi di lingkungan kampus, tapi kenapa di jaman reformasi organisasi mahasiswa di kampus malah diberangus?” tekannya.
Dia juga menyebutkan kasus yang terjadi di Untag ini merupakan kasus pemberangusan organisasi kampus pertama yang ditangani LBH Jakarta sejak era reformasi. “LBH Jakarta menolak keras tindakan represif apalagi dalam bentuk akademik dengan cara menjatuhkan skorsing hingga 4 semester hingga tindakan pemecatan bagi mahasiswa yang berdemonstrasi. Tindakan-tindakan seperti ini sangat tidak lazim pada masa reformasi tapi sudah mirip kondisi pada orde baru,” jelasnya.
Kasus yang terjadi di Untag ini, menurutnya, sudah melanggar konstitusi, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. “Seharusnya ada mekanisme peringatan bagi mahasiswa jika melanggar, apalagi dalam kasus ini aksi yang dilakukan para mahasiswa tidak anarkis dan tidak ada perusakan,” katanya.
Pihaknya mengaku akan mengambil langkah hukum atas keluarnya SK rektor yang menjatuhkan sanksi bagi para mahasiswa. “Kami akan membawanya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Kenapa PTUN? Walaupun swasta tapi Untag menjalankan tugas pemerintahan di bidang pendidikan, jadi keputusan rektor itu bisa dibatalkan oleh pengadilan,” ujarnya. (rmol.co)