LBH Jakarta dan LBH Padang menjadi perwakilan Indonesia untuk menghadiri pertemuan mitra yang diselenggarakan oleh Asian Human Rights Commission (AHRC) dan Asian Legal Resource Centre (ALRC) di Hong Kong pada 7 – 11 April 2014. Selain perwakilan Indonesia, pertemuan tersebut dihadiri pula oleh pegiat hak asasi manusia dari berbagai negara di Asia, antara lain: Philippines, Kamboja, Burma, Bangladesh, India, Pakistan, Nepal, dan Sri Lanka. Pertemuan 5 hari itu bertujuan untuk mendiskusikan aksi dan strategi advokasi bersama yang bisa diterapkan guna penegakan hak asasi manusia di wilayah Asia.
Isu besar yang didiskusikan di dalam pertemuan ini adalah “bagaimana penerapan Negara Hukum di masing-masing Negara di kawasan Asia?” Pada hari pertama pertemuan, Basil Fernando, Direktur Pengembangan Kebijakan dan Program ALRC, mengajak para peserta untuk mendiskusikan pengertian “norma” sebagai suatu nilai yang mendasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan berlaku secara universal. Menurutnya, hak asasi manusia terbentuk oleh norma-norma yang semua manusia tidak mungkin menentangnya. Namun sayangnya, perdebatan hak asasi manusia, lebih kepada bagaimana penerapan hak asasi manusia, yang seringkali melupakan norma dasarnya.
Di hari-hari selanjutnya, masing-masing peserta mempresentasikan hasil asesmen mereka terhadap situasi Negara masing-masing terkait dengan Negara Hukum. Peserta Indonesia menggunakan indikator Rule of Law yang juga digunakan oleh PBB dalam laporan Sekretaris Jendral. Kesimpulan dari hasil asesmen peserta Indonesia, bahwa Indonesia bukan Negara Hukum, meskipun Konstitusi menyatakan kalau Indonesia adalah Negara Hukum. Ini diperoleh dari fakta, bahwa masih ada produk legislasi dan praktek administrasi pemerintahan yang diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu, khususnya berdasarkan agama. Hukum tidak benar-benar ditegakan. Para pelaku kejahatan dan pelanggaran HAM memperoleh impunitas. Masyarakat kecil sering tidak memperoleh perlakuan hukum yang adil. Peraturan perundang-undangan saling tumpang tindih dan kontradiktif karena tidak ada usaha serius untuk mengharmonisasikannya sesuai dengan standar HAM internasional. Penahanan yang tidak sah, bahkan penyiksaan masih kerap terjadi dalam proses hukum.
Para peserta dari Negara lainnya pun mengakui bahwa Negara mereka tidak memenuhi prinsip Negara hukum (rule of law). Seperti di Pakistan misalnya, ekstrimis Islam dan militer membangun sistim Pakistan berdasarkan hukum syariah yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok agama minoritas. Tidak ada kesetaraan dan akses terhadap keadilan bagi mereka. Begitu pula negara-negara lainnya, dimana akses terhadap keadilan pada umumnya masih jauh dari impian masyarakatnya. (MYG)