Menhub juga dianggap bertanggung jawab atas tindakan diskriminasi terhadap penumpang penyandang disabilitas.
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia kembali disomasi penumpang. Kali ini, Dani Suntoro, penumpang penanyadang disabilitas tuna daksa melayangkan somasi karena mendapat perlakuan diskriminatif dari Garuda. Dani dipaksa menandatangani “Surat Pernyataan Pembebasan” pertanggungjawaban Garuda atas penyakit Dani.
Padahal, penyandang disabilitas berbeda dengan penyakit. Saat akan berangkat ke Jakarta dari Surabaya pada 23 Maret 2014, Dani diharuskan Garuda menandatangani surat pernyataan. Dani yang menggunakan kursi roda dianggap menderita penyakit, sehingga Garuda tidak mau bertanggung jawab apabila penyakit Dani bertambah parah.
Menanggapi somasi penumpang tersebut, Wakil Presiden Komunikasi Korporat Garuda, Pujobroto mengatakan, sesuai kebijakan Garuda, saat ini Garuda sudah tidak mensyaratkan penumpang penyandang disabilitas menandatangani formulir atau surat pembebasan sebelum terbang dengan menggunakan pesawat Garuda.
Ia menjelaskan, Garuda sudah tidak lagi memberlakukan surat pembebasan bagi para penumpang penyandang disabilitas. Garuda sudah mengeluarkan pencabutan terhadap surat pernyataan pembebasan. “Berkaitan dengan kejadian itu, Garuda akan mengecek kejadian lebih lanjut,” katanya kepada hukumonline, Senin (31/3).
Dani mengakui dirinya sempat protes ketika diminta menandatangani surat pernyataan. Dani mengetahui jika surat tersebut sudah dihapuskan oleh Garuda. Dahulu, Garuda sudah pernah disomasi penumpang yang juga penyandang disabilitas Cucu Saidah. Garuda akhirnya membuat SOP dan mencabut surat pernyataan tersebut.
Namun, entah mengapa dalam penerbangan rute Surabaya-Jakarta, Dani kembali diminta menandatangani surat pernyataan. Dani dengan berani meminta dipertemukan dengan pimpinan kantor bernama Sudjono. Alhasil pimpinan kantor maskapai plat merah itu langsung meminta maaf kepada Dani. Kemudian, Dani melanjutkan perjalanannya.
“Saya dipertemukan dengan Pak Sudjono dan Pak Sudjono meminta maaf. Sepertinya, Pak Sudjono sudah tahu kalau sebenarnya surat ini seharusnya tidak ada lagi. Saya bilang Saya bilang mohon disosialisasikan kepad jajaran dan staf-staf yang lain agar surat seperti ini tidak ditujukan kepada kami, disabilitas berkursi roda,” ujarnya, Sabtu (29/3).
Atas perlakuan Garuda, Dani bersama sejumlah penyandang disabilitas, aktivis, dan pengacara publik LBH Jakarta melayangkan somasi terhadap Garuda. Dani meminta Garuda tidak lagi melakukan tindakan diskriminatif terhadap para penumpang penyandang disabilitas. Ada enam tuntutan yang mereka sampaikan.
Pertama, meminta Garuda menghapus Surat Pernyataan Pembebasan paling lambat tujuh hari semenjak somasi dilayangkan. Kedua, mensosialisasikan penghapusan Surat Pernyataan Pembebasan melalui media cetak dan elektronik nasional maupun internasional. Ketiga, mensosialisasikan penghapusan itu kepada seluruh staf Garuda.
Keempat, mengeluarkan SOP pelayanan khusus kepada para penumpang penyandang disabilitas. Kelima, melakukan pendidikan pelayanan khusus bagi penyandang disabilitas bagi seluruh staf pelayanan Garuda di Indonesia. Keenam, menyediakan fasilitas khusus untuk kenyamanan penumpang penyandang disabilitas.
Senada, penumpang tuna rungu, Eka Wirawan menyatakan Garuda tidak boleh lagi memperlakukan para penyandang disabilitas secara diskriminatif. Semestinya, baik itu penumpang penyandang disabilitas ataupun tidak, Garuda tetap bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu yang buruk dalam penerbangan.
Ia meminta maskapai Garuda memperbaiki SOP dan meningkatkan kualitas layanan yang setara bagi penyandang disabilitas melalui edukasi, menambah sarana ambulfit dan wheelchair accessible van bagi tuna daksa, serta penerjemah atau teks bagi tuna rungu. Selain itu, menyediakan braile bagi tuna netra.
Peran penerjemah atau teks begitu penting bagi tuna rungu yang tidak bisa mendengar. Rekan Eka sesama tuna rungu, Laura Lesmana Wijaya mengisahkan, saat hendak berangkat ke papua dengan Garuda, pesawat delay beberapa kali. Petugas hanya memberikan informasi keterlambatan secara lisan.
Laura mengaku hanya bisa menatap petugas yang berbicara, tanpa memahami maksud pembicaraan tersebut. Ia berharap Garuda bisa bekerja sama dengan lembaga terkait agar bisa mengadakan pelatihan bahasa isyarat bagi stafnya untuk menunjang penyampaian informasi bagi para penumpang penyandang tuna rungu.
Somasi Kemenhub
Dengan berbagai permasalahan itu, pengacara publik LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa meminta Garuda menindaklanjuti somasi guna memperbaiki kualitas layanan untuk para penumpang penyandang disabilitas. Somasi tersebut tidak hanya dilayangkan kepada Garuda, melainkan kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Alghiffari mengatakan, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dengan UU No.19 Tahun 2011. Ia berpendapat, Kemenhub sebagai elemen pemerintah yang berwenang mengeluarkan regulasi, bertanggung jawab penuh memastikan adanya transportasi publik yang aksesibel bagi para penyandang disabilitas.
Ia menganggap tindakan diskriminatif yang dialami Dani dan penyandang disabilitas lainnya sebagai bentuk kelalaian Kemenhub. Berdasarkan Pasal 135 UU No.1 Tahun 2009 tentang Perhubungan, Menhub seharusnya mengeluarkan suatu kebijakan atau regulasi turunan terkait akses transportasi publik bagi penyandang disabilitas.
“Makanya kami mendesak Menhub mengeluarkan kebijakan untuk melindungi akses penyandang disabilitas. Tidak boleh lagi ada surat pernyataan pembebasan, penyedia transportasi harus menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung yang lain, kemudian memberikan sanksi kepada maskapai yang diskriminatif,” tuturnya.
Apabila somasi tidak ditindaklanjuti dalam 30 hari, Alghiffari menyebut kemungkinan para pemberi somasi akan mengajukan gugatan warga negara agar Menhub segera mengeluarkan regulasi sebagaimana amanat UU No.1 Tahun 2009. Ia juga menyebut peluang mengajukan gugatan terhadap Garuda jika somasi tidak ditanggapi.
“Menurut kami, sangat terbuka peluang kami mengajukan citizen law suit kepada Menhub. Sementara, untuk Garuda, jika tidak melaksanakan teguran (somasi), kami juga bisa mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH). Tapi, itu kembali ke rekan-rekan yang melakukan somasi. Ada 32 orang,” tandasnya. (hukumonline.com)