RILIS PERS BERSAMA KOALISI ORNOP BURUH MIGRAN
Save Satinah, koalisi ornop dan individu buruh migran mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk melakukan segala upaya untuk membebaskan Satinah dari ancaman eksekusi hukuman pancung di Arab Saudi. Jika tidak ada usaha yang berarti, tidak sampai 2 (dua) minggu lagi Satinah akan dieksekusi oleh algojo pada 3 April 2014. Satinah akan menjadi TKI ke-2 yang dieksekusi di masa pemerintahan SBY setelah Ruyati pada tahun 2011. Hal ini sekali lagi memberikan potret kepada kita bahwa memang buruh migran Indonesia selalu sengsara.
Satinah, perempuan asal Ungaran, Jawa Tengah pergi ke Arab Saudi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada bulan September 2006. Itu ketiga kalinya ia pergi mengadu nasib sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di negeri orang. Semata untuk menghidupi keluarganya dengan cara yang halal karena pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan pekerjaan kepadanya di dalam negeri. Malang menimpanya, saat ketiga kalinya bekerja ini ia menerima berbagai kekerasan sampai akhirnya suatu saat ia membunuh majikannya. Pengadilan Arab Saudi memutuskan bahwa Satinah bersalah dan harus menjalani hukuman pancung.
Pemerintah baru mengetahui kasus Satinah setelah persidangan berjalan sebanyak 5 (lima) kali. Setelah itu, 2 (dua) kali persidangan tetap tidak ada pendampingan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Riyadh. Setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang menghadapi masalah hukum, apalagi yang ancamannya adalah hukuman mati seharusnya mendapatkan pendampingan hukum. Hasil dari ketiadaan pendampingan hukum ini sudah bisa ditebak, Satinah mendapatkan vonis hukuman mati pada 2010.
Rencana eksekusi ini bukanlah yang pertama. Hal yang sama pernah ingin dilaksanakan pada Desember 2011, Desember 2012, dan Juni 2013. Sangat besar kemungkinan ini adalah kesempatan terakhir bagi Satinah untuk lolos dari pedang algojo. Pemerintah sudah melakukan beberapa upaya hingga akhirnya eksekusi tertunda beberapa kali, tapi hal tersebut tidaklah maksimal karena Satinah masih menghadapi hukuman mati. Pemerintah harus melakukan upaya terakhir untuk membebaskan Satinah, baik melalui upaya diplomasi untuk terakhir kalinya maupun dengan cara membayar uang darah (diyat) sebesar 21 miliar rupiah kepada keluarga majikan.
Dari segi kebijakan, pemerintah harus melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan cara menyelaraskannya dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. Dengan penyelarasan ini, TKI yang mengalami masalah hukum di luar negeri dapat segera diketahui dan diberikan pertolongan. Tidak seperti apa yang terjadi dalam kasus Satinah dan Ruyati di mana upaya bantuan hukum kepada Tertuduh nyaris nol.
Jika eksekusi betul-betul terjadi maka tidak sampai seminggu setelahnya (9 April 2014) bangsa Indonesia melangsungkan pesta demokrasi. Suatu pesta yang tidak layak sementara ada anak bangsa yang meregang nyawa dengan terpisah kepala dan badannya di negeri orang. Menjadi ketakutan kita bersama bahwa kita akan kembali menyaksikan video eksekusi di Youtube, seperti apa yang terjadi pada Ruyati. SBY harus bertanggung jawab dengan cara menyelamatkan Satinah!
Berdasarkan hal-hal di atas, kami:
- Mendesak Presiden SBY dan jajarannya agar melakukan upaya terakhir untuk menyelamatkan Satinah dari hukuman pancung, baik melalui perundingan diplomatik maupun dengan cara membayar uang diyat, termasuk mengerahkan upaya maksimal bagi 249 WNI lainnya yang terancam hukuman mati di luar negeri;
- Mengajak semua pihak untuk ambil peran dalam proses pembebasan Satinah;
- Meminta pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan cara menyelaraskannya dengan Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012;
SAVE SATINAH
Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Institute for National and Democratic Studies (INDIES), Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA-PRT), Komite Aksi Perempuan (KAP), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Melanie Subono, Migrant Care, Migrant Institute Dompet Dhuafa