Jakarta. Penegakan hukum menjadi permasalahan terbesar dalam upaya memperbarui hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pemahaman keliru akan konsep PK dan arogansi sektoral untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing pihak adalah faktor kunci ketidakmampuan komunitas hukum Indonesia untuk memperjuangkan keadilan dan hak-hak asasi manusia dalam perkara pidana.
Untuk membahas lebih lanjut, MaPPI – Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia – FHUI, KuHAP – Komite Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana dan LBH Jakarta, 19 Maret 2014 bertempat di LBH Jakarta mengadakan Diskusi Tematik RUU KUHAP “Upaya Hukum Peninjauan Kembali” . Dengan narasumber; Djoko Sarwoko, S.H., M.H – Mantan Hakim Agung. Arsil – Anggota Koalisi KUHAP. Anugrah Rizki Akbari – Peneliti MaPPI.
Menurut Djoko Sarwoko,”Salah satu syarat Pk adalah adanya novum, artinya tetap ada proses pembuktian. Di dalam perkara pidana, PK itu tidak ada batas waktunya, lain dengan perkara perdata yang 180 hari setelah ditemukan novum. Di perkara pidana setelah ada novum langsung ajukan PK. Di perkara pidana, tenggang waktu mengajukan PK itu tidak harus diatur, namun berapa kali mengajukan PK-lah yang harus diatur”
Beliau menambahkan, “PK juga dapat dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk kepentingan korban. Dengan konstruksi korban boleh melakukan PK dengan diwakili JPU, nanti tidak perlu ada pintu darurat karena memang sudah diatur, selama ini hakim MA dalam keadaan sangat kritis, ketentuan hukum acara dilenturkan untuk mencapai keadilan. Idealnya keputusan hakim itu kepastian hukum dan keadilan berjalan simultan”
Arsil mengatakan, “Tingginya perkara di MA juga didorong karena inkonsistensi di MA sendiri mengenai PK. Ketika ada bukti baru yang mebuat ragu atas fakta yang terjadi, itu bisa mempengaruhi fakta, disitulah fungsi PK untuk menilai kembali fakta karena ada situasi baru, bukan menilai hukum yang ada. Di beberapa kasus MA justru mempermasalahkan permasalahan hukumnya, bukan masalah fakta kasusnya”
Anugrah Rizky berpendapat, “Berkaitan dengan putusan MK, hak terpidana untuk mengajukan PK tidak dibatasi.Adalah hal yang wajar apabila jaksa tidak diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali, karena mereka menangani perkara dari awal hingga akhir.Di kejaksaan sendiri sebenarnya terdapat masalah internal untuk menutupi fakta akibat perintah atasan.Mejadi masuk akal bahwa pengaturan di hukum pidana materil mengenai daluwarsa melakukan penuntutan. Hukum pidana ditegakkan untuk melindungi HAM namun cara menegakkannya justru melanggar HAM”
Sebenarnya PK berfungsi untuk mengembalikan hak dan keadilan terpidana yang terlanjur dirampas oleh negara secara tidak sah dan oleh karenanya amar putusan PK tersebut tidak boleh lebih berat dari putusan sebelumnya.