Pakar Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Andari Yuriko Sari, mengatakan banyak masalah ketenagakerjaan yang menyelimuti perusahaan BUMN, terutama soal outsourcing penyedia jasa pekerja. Misalnya, mengacu Permenakertrans tentang Outsourcinghanya ada lima jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing. Serta jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcingbukan kegiatan utama. Namun, Andari melihat tak sedikit perusahaan BUMN yang mempekerjakan outsourcingpada jenis pekerjaan di luar ketentuan tersebut.
“Saya melihat outsourcing ada di jenis pekerjaan utama, itu jelas menyalahi UU Ketenagakerjaan,” katanya dalam diskusi yang digelar Serikat Pekerja Antara di Jakarta, Kamis (25/4).
Persoalan outsourcingyang kerap dijumpai Andari biasanya terkait dengan hak pekerja. Seperti tak ada kepastian kerja bagi pekerja outsourcingkarena hubungan kerjanya tak jelas. Andari menyebut hal itu terjadi karena tidak ada hubungan hukum antara pekerja outsourcingdan perusahaan pemberi pekerjaan (user). Sehingga tak ada hak dan kewajiban yang berhubungan langsung antar keduanya. Contohnya, perintah berasal dari perusahaan outsourcing kepada pekerja outsourcing. Ia mengingatkan bahwa putusan MK tentang Outsourcingmengamanatkan agar ada jaminan keberlanjutan kerja bagi pekerja outsourcing.
Masalah lain yang dihadapi pekerja outsourcing, Andari melanjutkan, bersinggungan dengan hak untuk berserikat. Dari pantauannya pekerja outsourcingtergolong sulit untuk berserikat. Walau begitu Andari menekankan jika syarat-syarat untuk melakukan outsourcingtak dipenuhi dengan baik sebagaimana termaktub di pasal 64, 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan maka pekerja outsourcing statusnya beralih menjadi pekerja tetap di perusahaan pemberi pekerjaan.
Pada kesempatan yang sama Wakil Direktur LBH Jakarta, Restaria Hutabarat, mengatakan putusan MK tentang outsourcing memperjelas keberadaan outsourcing sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Ia menekankan putusan MK itu mengamanatkan pemerintah untuk menjamin keberlangsungan kerja bagi pekerja outsourcing. Malah, perempuan yang disapa Resta itu mengatakan kontrak kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya tetap mengikuti UU Ketenagakerjaan. Misalnya, berstatus pekerja tetap atau kontrak. Serta hak antara pekerja outsourcing dan tetap harus setara.
Sayangnya, amanat MK itu dirasa tak dijabarkan secara baik oleh pemerintah dengan diterbitkannya Permenakertrans Outsourcingtahun lalu. Menurut Resta peraturan itu tak menegaskan adanya jaminan keberlangsungan kerja untuk pekerja outsourcing. Begitu pula penafsiran jenis pekerjaan pokok yang terdegradasi maknanya. Misalnya, ada lima jenis pekerjaan yang dilarang di-outsourcing, diantaranya jasa keamanan dan kebersihan. Namun di sektor industri perhotelan, Resta menilai jasa kebersihan tergolong pekerjaan inti, bukan penunjang. Hal serupa juga berlaku di industri perbankan yang membutuhkan pengamanan.
Melihat bermacam persoalan yang ada dalam pelaksanaan outsourcingdi BUMN, Resta berpendapat yang diuntungkan adalah perusahaan outsourcingdan pejabat di kementerian yang menunjuk perusahan outsourcingtersebut. Pasalnya, perusahaan outsourcing tak memberikan apa yang menjadi hak pekerja. Seperti adanya pemotongan upah, diskriminasi tunjangan kesejahteraan dan dapat sewaktu-waktu diputus hubungan kerja (PHK).
Ironisnya, minimnya perlindungan pemerintah terhadap pekerja outsourcing tak hanya terkait regulasi yang diterbitkan, tapi juga pengawasan. Resta menilai pemerintah tak mampu melakukan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanan outsourcing. Akibatnya, terjadi impunitas dan pelanggaran serupa terus terjadi baik itu di BUMN atau perusahaan swasta. Tak terkecuali hak berserikat. Sejak UU Serikat Pekerja diterbitkan tahun 2000 sampai sekarang hanya terdapat satu pengusaha yang dipenjara karena memberangus serikat pekerja. “Pengawasan tak bekerja dengan baik,” tegasnya.
Sementara anggota komisi IX dari fraksi PKS, Arif Minardi, mengimbau agar perusahaan BUMN patuh terhadap peraturan ketenagakerjaan yang ada. Sayangnya hal itu tak dilakukan. Mantan Ketua Serikat Pekerja PT Dirgantara Indonesi itu mengaku sedih melihat praktik outsurcingdi BUMN. Apalagi praktik pelaksanan outsourcingdi Indonesia secara umum sudah mendekati perdagangan orang karena ada bentuk-bentuk eksploitasi terhadap manusia.
Misalnya, di PT PLN Arif mencatat ada sekitar 40 ribu pekerja outsourcing. Dari pengaduan serikat pekerja Arif menyebut PLN mengupah pekerja outsourcingsebesar Rp3,6 juta, tapi yang disalurkan perusahaan outsourcingkepada pekerja yang bersangkutan hanya Rp1,6 juta. Hal serupa juga terjadi di PT Telkom. Selain itu Arif juga menyoroti status dan masa kerja pekerja outsourcingdi perusahaan BUMN yang pelaksanaannya tak sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan. Menurutnya, jika persyaratan yang mengatur tentang outsourcingtak dipatuhi, maka pekerja outsourcing harus diangkat menjadi pekerja tetap.
Carut-marutnya pelaksanaan outsourcingdi BUMN menurut Arif tak terlepas dari adanya paradigma yang mengharuskan BUMN meraup untung sebesar-besarnya. Padahal, sebagai perusahaan negara, BUMN harus menopang ekonomi nasional dan menyejahterakan rakyat. Selaras dengan itu pekerja di BUMN termasuk bagian dari rakyat. Apalagi, salah satu sumber dana yang digunakan untuk operasional BUMN adalah APBN, bukan diambil dari kocek manajemen BUMN. “Perusahaan BUMN untungnya kecil tidak apa-apa, tapi pekerjannya harus sejahtera,” tuturnya.
Menanggapi berbagai pernyataan itu Direktur PPHI Kemenakertrans, Sahat Sinurat, mengatakan Kemenakertrans berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai persoalan ketenagakerjaan yang ada di BUMN. Misalnya, dalam rapat yang membahas outsourcingdi BUMN beberapa waktu lalu di ruang sidang Komisi IX DPR, Kemenakertrans sudah menjelaskan masalah ketenagakerjaan yang ada di BUMN. Terkait jaminan keberlangsungan kerja pekerja outsourcing di BUMN, Sahat mengatakan secara umum Permenakertrans Outsourcingsudah mengatur dengan baik tentang itu.
Misalnya, terdapat klausul yang menekankan agar perjanjian kerja yang dijalin antara perusahan pemberi pekerjaan dengan perusahaan outsourcingmemuat jaminan keberlangsungan kerja tersebut. Untuk outsourcing pemborongan pekerjaan, dalam perjanjian penyerahan pekerjaan Sahat mengatakan pemenuhan hak-hak pekerja harus terjamin. Sedangkan outsourcingpenyedia jasa pekerja, Sahat menyebut terdapat klausul yang mengamanatkan agar pekerja outsourcing terjamin keberlangsungan kerjanya sekalipun perusahan outsourcingberganti-ganti.
Dengan begitu, Sahat menandaskan, perlindungan terhadap pekerja outsourcing menjadi terikat karena termaktub dalam perjanjian tersebut. “Dalam perjanjian (antara perusahaan pemberi kerja dan outsourcing,-red), harus dirinci apa saja hak pekerja dan upahnya tak boleh lebih rendah dari pekerja tetap,” urainya.
Menganggap peraturan yang ada untuk mengatur pelaksanaan outsourcing sudah cukup baik, Sahat mengatakan Kemenakertrans tak mampu bertindak sendiri untuk menjaga agar regulasi yang ada terimplementasi dengan baik. Atas dasar itu Sahat mengimbau semua pemangku kepentingan membantu mengawal pelaksanaan peraturan tersebut. “Efektif atau tidaknya pelaksanaannya itu menjadi tugas kita bersama,” pungkasnya.