Berdasarkan pengamatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sepanjang 2013, pendidikan nasional dipenuhi berbagai macam persoalan yang memprihatinkan, diantaranya, penerapan kurikulum baru yang tergesa-gesa, tertundanya pelaksanaanujian nasional (UN) di 11 provinsi, rendahnya kualitas buku pelajaran di sekolah, tingginya perilaku kekerasan fIsik dan merebaknya tindakan amorai di Iingkungan sekolah dan kampus, maraknya pungutan liar dan tindakan sewenang-wenang penguasa/birokrat pendidikan di berbagai daerah, ancaman kebebasan guru dalam berorganisasi/berserikat melalui “pemaksaan” revisi PPNo. 74 tahun 2008 tentang Guruserta korupsi pendidikan.
“Semua itu menjadi tanda nyata bahwa pendidikan nasional sarat dengan permasalahan yang krusial yang harus segera diatasi bersama,” ujar Retno Listyarti, Sekjen FSGIdalam Diskusi dan Konfrensi Pers Catatan Akhir Tahun Pendidikandi LBH Jakarta pada 2 Januari 2013. Diskusidi pandu oleh Feby Yonesta Mayong, Direktur LBHJakarta.
Persoalan Kurikulum 2013
Sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru, kementerian pendidikan pun juga beberapa kali mengubah kurikulum, namun mereka masih lebih hati-hatl dalam mengubah kurikulum melalui proses dialog, analisis, dan ujicoba, meskipun terbatas, sebelurn menerapkan Kurikulum baru. Berbeda dengan apa yang terjadi pada perubahan Kurlkulum 2013. Kurikulum ini sejak dicanangkan telah menuai prates dan kritik karena desain yang dibuat tidak transparan, uji publik yang dilakukan sekedar formalitas, naskah akdemis tidak dipublikasikan sejak awai sosialisasi,dan banyaknya perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 dilaksanakan tidak dengan persiapan yang matang.
“Dari berbagai macam diskusi dan refleksi tentang mereka yang teriibat dalam desain Kurikulum 2013, tampak jelas bahwa tidak ada koordinasi yang baik antara desain awal dengan tim teknis, baik untuk desain buku eetak maupun sistem evaiuas!. Persiapan yang tergesa-gesa dan tidak matang ini jelas merugikan siswa, guru, dan tentu saja pendidikan nasionai,” ujar Itje Chodijah, trainer guru yang juga menjadi pembahasdiskus!.
Ketidaksiapan dalam desain awai menibuat banyak sisi penerapan Kurikulum 2013 bermasalah. Hal ini tecermin dari : (1) “terpaksanya” Kemdikbud menurunkan target implementasi, yang semula 30 persen dari totai sekolah menjadi 2 persen (6.2’3 sekoiah) saja;(2) minimnya sosialisasimengenai konsep kurikulum baru; (3) buku diktat dan buku teks terlambat dicetak dan didistribusikan ke sekoiah-sekolah;(4) Keterlambatan pengadaan buku berdampak tertundanya pelatihan guru karena buku itulah yang menjadi salah satu materi pelatihan; (5) pada tingkat implementasi, banyak guru, bingung saat menerapkan kurikuium 20’3 di kelas, guru pendamping yang dijanjikan hadir di kelas-kelasternyata baru hadir pada november 20’3, molar 3 bulan; (6) terjadi kekurangan buku di sekolah sasaran yang ditunjuk. Bahkan ada sekolah sasaran yang sama sekali tidak mendapatkan buku kurikulum 20’3 sampai november 20’3, misalnya 3 sekolah dasar (SD) di wilayah Ciputat (Banten). Sebuah SMP di Depok (Jawa Barat) yang menjadi sekolah sasaran hanya mendapatkan 8 buku mata pelajaran IPA, padahal jumlah muridnya 100 orang. Di berbagai SMA di DKI Jakarta yang merupakan sekolah sasaran juga kekurangan buku dengan jumlah antara 40 – 80 buku untuk 3 mata pelajaran; (7) Sejumlah masalah penilaian dan pengisian buku rapor. Hal itu terjadi karena adanya perubahan model penilaian, tapi perubahannya tidak diberikan pada saat pelatihan. Format rapor juga sangat terlambat diterima pihak sekolah. Akhirnya sejumlah sekolah sasaran di Jakarta memutuskan menunda pembagian rapor kelas X, seperti terjadi di SMAN 13, SMAN 41, SMAN 100, dll.
Penundaan Ujian Nasional 2013 di 11 Propinsi
Tahun 2013 ditandal dengan adanya ketertundaan dalam pelaksanaan ujlan nasional di 11 provinsi akibat distribusl soal yang terlambat. FSGI mengidentiflkasi dampak penundaan sebagal berikut: (1) Menimbulkan perasaan tertekan/stres yang dialami sejumlah siswa di berbagal daerah tersebut, seperti munculnya gangguan Ingin buang air besar terus, keringat dingin, lupa pada apa yang semalam sudah dipelajari, lupa letak ruang ujian, dan sebagainya; (2) Melanggar hak.hak anak, karena tetap “memaksa” slswa SMP mengikuti ujlan bahasa Indonesia padahal soal baru tiba menjelang maghrib. Ada beberapa sekolah di Maluku, baru mengerjakan soal ujian pada pukul 18.00WIB, bahkan ada yang baru ujian pada pukul 22.00 Wita di Palopo (Sulawesi Selatan); (3) Sejumlah daerah memfotocopy soal dan lembar Isian Komputer (UK) bahkan hlngga ribuan lembar, artinya kerahasian soal sudah tidak bisa dijamln; (4) sejumlah daerah sepertl dl kepulauan Aru dan Maluku yang tidak ada mesin fotocopy terpaksa siswanya harus bergantian menjawab dengan bertukar lembar demi lembar soal yang oleh pengawasnya dlbagikan halaman per halaman secara bergantian.
“UN SD menjadi perbincangan yang menarik karena pemerlntah seolah tak rela menghapus UN SD, padahal dalam pasal 69-72 PP No. 32 tahun 2013yang mengatur tentang standar penilalan, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa UN di tingkat SD tidak ada. Namun, Mendikbud bersikeras ada dengan kebijakan kontroverslalnya yaltu memindahkan wewenang dan pembiayaannya UN SD dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sejumlah daerah keberatan akan kebijakan inl,” ujar Relno Listyarti saat menyampaikan paparannya.
Rendahnya Kualitas Buku Pelajaran
Kualitas buku pelajaran yang menjadi bahan ajar slswa rendah. Ini terjadi karena lemahnya peran pengawasan dari Kemdlkbud. Hal Itu tampak jelas darl munculnya sejumlah buku (LKS) lembar Kerja Siswa dan buku teks untuk SD di beberapa sekolah yang memuat teks atau ilustrasi yang tidak pantas untuk murid-murid SD Ironisnya, terhadap persoalan tersebut, muncul saling lempar tanggung jawab dari kepala sekolah, dlnas pendldikan, dan Kemdibud. Pihak Kementerian dan Dinas Pendidikan selalu berdalih bahwa LKS Itu domain sekolah. Kenyataanya, sekolah tidak blsa menentukan buku lKS-nya sendiri. Sekolah selalu menunggu rekomendasi dari Dinas Pendidlkan setempat_ Dengan kata lain, dinas ataupun Kementerian tidak bisa lepas tanggung jawab atas penyimpangan terhadap materi pelajaran,” ujar Fakhrul Alam, Sekretaris Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ).
Selama ini, Kemendikbud selalu berdalih bahwa buku-buku yang memuat teks dan ilustrasl tak pantas terjadl karena buku dlterbitkan pihak swasta bukan pemerintah. Tetapi ketlka buku kurikulum 2013yang prosesterbitnya dimonopoli pemerintah ternyata teks tak pantas tetap juga muncul pada buku bahasa Indonesia kelas VII SMP pada cerpen berjudul “Gerhana” karya Muhammad All yang memuat kata-kata kasar dan maklan pada halaman 220-226. Atas keteledoran ini dengan entengnya Wamen bidang pendidikan, Musliar Kaslm menyatakan tidak perlu ditarik bukunya, para guru hanya diminta memerintahkan para siswa merobek halaman cerpen tersebut. Sikap Ini sangat berbeda ketika pihak ,wasta yang melakukan kesalahan, buku langsung ditCirik dari pasaran. “Selain berisi materi yang tak pantas, dalam buku Diktat Kurikulum 2013juga ditemukan iklan yang menguntungkall merek produk tertentu. Hal Ini bisa kita Iihat dalam buku Matematika Kelas7. Berbagal macam persoalan tentang buku diktat inl menunjukkan bahwa Kemendlkbud tidak pernah serius mengurusi perbukuan, yang menjadi sumber pembelajaran bagi seluruh siswa di Indonesia,” kritik Doni Kusuma, pemerhati pendldikan.
Kekerasan Dalam Pendidikan
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kasus kekerasan pelajar mulai umur 9 hingga 20 tahun yang dilaporkan ke plhak kepolisian mengalami peningkat 20 persen pada tahun 2013.Selain antar pelajar, kekerasan dalam pendldikan juga dilakukan oleh oknum guru, seperti kasus dugaan pelecehan seksual di SMAN 22 Jakarta, SD negerl di Depok, atau dugaan kekerasan fislk yang dilakukan oknum guru di salah satu SDnegeri di Tanjung Priok, Jakarta. 2. Tahun 2013 juga ditandai dengan sejumlah perilaku asusiladi Iingkungan sekolah, muneulnya tindak kekerasan di kampus, yang kembali merenggut jiwa muda generasi bangsa, seperti meninggalnya searang mahasiswabaru di Institut Teknologl Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur, pada saat ospek. Demikianjuga kasus menlnggalnya siswa SMAN 6 akibat tawuran dengan SMAN 70 Jakarta dan penggunaan air keras ketika tawuran oleh sejumlah siswa SMK di Jakarta mestinya membuat pihak Kemdikbud semakin sadar bahwa persoalan kekerasan dalam pendidikan kita sudahakut, dan mereka tidak dapat lepastanggungjawab.
“Kemdikbud dapat mengurangi dan menghilangkan kekerasandi kampus dengan membuat regulasi yang ketat, mulai dari penurunan nilal akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin operasional lembaga pendidlkan bila tetap memblarkan terjadinya perilaku kekerasan dan tindak amoral di sekolah. Pencopotan jabatan kepala sekolah, kepala dinas, rektor, dll, akan memuneulkan tanggungjawab dan keseriusan mereka dalam mengelola pendidikan,” ujar Retno Listyarti.
“Sosia!isasi Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak kepada siswa, orangtua, guru, kepala sekolah, dan birokrat pendidikan sangatlah penting dan mendesak untuk segera dilakukan, agar semua plhak tahu bagaimana melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Tidak boleh terjadi lagi kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa dalam Iingkungan pendidikan. Selama Ini belum ada sinergi antara KPAI, Kemendibud dan Dinas-dinasPendldikan dl seluruh Indonesia untuk mensosialisasikan UUPA. Kerjasama lintas sektoral inl diperlukan agar perilaku kekerasan di Iingkungan pendidikan tidak terjadi lagi,” ujar Doni Koesuma. yang juga menjadi pembahas dalam diskusi catahu pendidikan versi FSGI.
Selain masalah kekerasan, ancaman atas keberagaman di berbagai sekolah negeri diduga juga semakin menguat pada 2013. “Beberapa indikalor yang menandainya mlsa!nya, makin maraknya ritual agama menjelang UN dilaksanakan berdasarkan agama mayorilas, penyemalan landa khusus pada para siswa yang berbeda dengan agama mayorilas, pembelajaran kurikulum 2013makin menguatkan pembahasanmaier! pembelajaran sesuai agama mayoritas, para guru perempuan sekolah-sekolah negeri yang hampir seluruhnya berkerudung, tldak adanya program sekolah yang mencerminkan keberagaman, dan sebagainya,” ujar Henny Supolo, direktur Yayasan Cahaya Guru (YGC)yang menjadi salah satu pembahas diskusi.
Revisi PP74/2008 dan Ancaman Kebebasan Berorganisasi Bagi Guru Pada tahun 2013 Kemdikbud berencana merevisi Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru. Rencanarevisitersebut ditolak oleh empat organisasiGuru berskala Nasional, yaitu Federasl Serikat Guru Indonesia (FSGI), Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Federasi Guru independen Indonesia (FGII), dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) Penolakan terutama pada revisi pasal44 ayat (3) karena berpotensi kuat melanggar HakAsasi Manusia (HAM), khususnya kebebasanberserikat/ berorganisasi bagi guru. “Pasal tersebut mengatur mengenai persyaratan keanggotaan dan kepengurusan organisasi profesi Guru yang disamakan dengan persyaratan pendirian partai politik. Atas persyaratan ini, yang dapat memenuhinya hanyalah organisasi PGRI. Ada dugaan, Pemerintah hendak “menunggalkan” kembali organisasi guru seperti di era Orde Baru,” ujar Guntur Ismail, Presedium FSGI
“Sepanjang 2013 pengekangan terhadap kebebasan guru dalam beroganisasi marak terjadi di berbagai daerah. Hal ini dikarenakan banyak birokrat pendidikan di daerah adalah pengurus PGRI.Padahal,dalam UU NO.14/2005, pasal 1 butir (13) jelas disebutkan bahwa organisasi guru harus diurus oleh guru, bukan mantan guru, blrokrat pendidikan apalagi politisi. Meski jelas-jelas melanggar ketentuan UU, namun PGRItidak pernah mendapat teguran dari pemerintah. Ketika pengurus PGRIadalah birokrat pendidikan, akan terjadi konflik kepentingan. Paraguru yang kritis dan berani memilih organisasiguru selain PGRIdi daerah-daerah tersebut mengalami bermacam-macam intimidasi, mulai dari dihambat urusan kedinasannya, dihambat kenaikan pangkatnya sampai mutasi. Bahkan, ada aktivis rSGI di Mataram dalam satu tahun mengalami tiga kali mutasi,” ujar Retna Listyarti.
Para pengurus PGRIdi sejumlah daerah diduga melakukan pungli. Misalnya, sejumlah guru di daerah mengeluhkan pungutan gaji ke-13 sebesar Rp 50’400 ribu per orang yang dikenakan oleh PGRI. Pungutan juga ditarik dari para guru yang bukan anggota PGRI untuk kegiatan rutin organisasi dan pembangunan sarana organisasi. Hal ini dilaporkan ke FSGI oleh Fahmi Hatib, guru SMP Negeri 1 Monta, Kabupaten Bima, yang juga mantan Bendahara PGRI Bima. Ada bukti Surat Edaran PGRI Kabupaten Bima, seluruh kepala sekolah di kabupaten itu wajib menarik pungutan dari para guru untuk pekan olahraga seni dan kongres pengurus besar PGRI pada 1-5 Juli 2013.
Hariyantoni, guru di Kabupaten Banteng, Bengkulu, juga mengeluhkan tindakan PGRI mengenakan pungutan terhadap gaji ke-13 pada Juli 2013 untuk membangun gedung sekretariat PGRI provinsi. Besarannya sekitar Rp150 ribu per orang. Hariyantoni mengatakan para guru di Bengkulu sempat mengancam akan melaporkan pungutan itu kepada penegak hukum karena dianggap sebagai pungutan liar.
“Melihat kenyataan di atas, bagaimana mungkin persyaratan keanggotaan dan kepengurusan organisasi guru akan dipaksakan pemerintah sementara kondisi kebebasan organisasi guru di lapangan masih sangat memprihatinkan? Banyak guru tidak berani pindah organisasi karena berbagai alasan. Yang paling rawan adalah ketika guru di politisasi dalam pemilu kepala daerah. Ketika guru dipolitisasi, urusan utama mendidik para siswa menjadi terabaikan. Banyak guru tak berani menolak dipolitisasi karena ini akan berakibat pada karir mereka,” ujar Doni Kusuma menanggapi temuan FSGI.
Korupsi Pendidikan Sejumlah dugaan korupsi dalam pendidikan di sepanjang tahun 2013juga mengemuka, bahkan isnpektorat Jenderal Kemendikbud melaporkan ke KPK terkait Rp 10 Trilyun tunjangan sertifikasi guru mengendap di daerah. Irjen Kemendikbud juga mengendus dugaan penyimpangan lelang dalam penyelenggaraan ujian nasional 2013 yang sarat masalah. Selain itu, Mendikbud juga akhirnya menyerahkan pemeriksaan atas Wamen bidang Kebudayaan terkait dugaan KKN. Namun, sejumlah persoalan korupsi pendidikan tersebut tampaknya belum menampakkan kejelasan pengusutan dan penindakan. Bahkan beberapa pejabat yang direkomendasikan oleh Inspektorat terkait kisruh UN 2013 untuk dicopot dari jabatannya juga tidak dijalankan oleh Mendikbud.
Masalah pengelolaan dana BOS dan BOP di sejumlah daerah juga menimbulkan banyak masalah dan berbagai dugaan penyimpangan. Walaupun persoalan dugaan penyimpangan pengelolaan dana BOS maupun BOP sudah kerap mengemuka di media massa, namun sayangnya belum juga ada upaya penyelesaian hukum sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas.
“Selain berbagai penyimpangan pengelolaan dana BOS dan BOP, ternyata dunia pendidikan juga diwarnai berbagai laporan pungutan-pungutan liar di sejumlah sekolah. Berbagai pungutan terjadi tidak hanya di sekolah-sekolah ex RSBI tetapi juga diberbagi sekolah negeri yang bukan ex RSBI. Ada lima macam pungutan yang kerap di lakukan sekolah, yaitu pungutan uang seragam, bimbingan belajar dalam menghadapi UN, perpisahan sekolah, studi wisata sekolah dan alasan dukungan atas biaya Iistrik karena penggunaan AC (air conditioner),” ujar Fakhrul Alam menyamaikan temuan FMGJ.
Apresiasi lelang Kepala Sekolah
“Di antara berbagai masalah, ada hal yang harus diapresiasi dari Kemendikbud, yaitu dukungan Mendikbud atas kebijakan seleksi terbuka lelang jabatan kepala sekolah yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Meski pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta kerap berargumentasi bahwa sistem lelang terbuka jabatan kepsek ini melanggar Permendiknas 28/2010 tetapi M. Nuh di berbagai kesempatan menyatakan dukungannya atas sistem rekruitmen kepsek yang dilakukan pemprov DKI Jakarta sebagai upaya memperoleh kepala- kepala sekolah yang berkualitas,” ujar Retno listyarti saat Lelang jabatan Kepala Sekolah merupakan sebuah alternatif baru dalam penentuan para pemimpin sekoiah yang akan menjadi kunci kualitas pendidikan nasiona!. Namun, persoalan kolusi, serta cara-cara tidak sehat dan fair yang mungkin terjadi, demi perolehan jabatan kepala sekolah juga perlu dicermati. Transparansi akan melahirkan pemimpin sekolah yang handai, asalkan sistem rekruitmen ini dilakukan tanpa kecurangan dan pungli, sehingga sungguh diperoleh kepala sekolah yang mumpuni.
Rekomendasi
Berbagai persoalan krusial yang terjadi selama 20’3, perlu menjadi bahan evaluasi dan refleksi yang serius, yang harus ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun oleh pihak-pihak yang terkait. Untuk, kami menyampaikan beberapa rekomendasi yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait.
Pertama, Pemerintah tidak semestinya memaksakan pelaksanaan Kurikulum 2013sebelum mengadakan sebuah uji coba yang terbatas, yang hasilnya dibuka kepada publik dan akademisi, sehingga dapat diterima efektifitas dan kehandalannya bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Kedua, Kemdikbud perlu mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang tegas dan jelas untuk mengurangi dan menghilangkan perilaku kekerasan di sekolah-sekolah yang selama ini telah merenggut banyak jiwa anak bangsa secara sia-sia. Kemdikbud juga wajib menyemai keberagaman di sekolah-sekolah negeri secara sistematik dan masif .
Ketiga, perlu dibentuk sebuah lembaga mandiri untuk menyeleksi, mengawasi, dan mengontrol kualitas buku-buku pelajaran yang akan dipergunakan di sekolah dengan melibatkan peran serta akademisi dan masyarakat.
Keempat, pemerintah harus menghentikan politisasi guru, memberikan ruang kemerdekaan dan kebebasan bagi para guru untuk mengikuti organisasi guru tertentu tanpa ada halangan dari birokrasi ataupun dari pemerintah melalui pembatasan dalam peraturan, karena hak berserikat dan berkumpul dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945.
Kelima, menghapuskan sama sekali keberadaan Ujian Nasional di tingkat sekolah dasar, serta mengevaluas; kembali Kebijakan Ujian Nasional, karena kebijakan UN lebih banyak melahirkan dampak buruk bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Pemerintah perlu member; contoh dalam hal taat hukum dengan mematuhi keputusan MA tentang Ujian Nasional.
Keenam, pemerintah berkonsentrasi dalam meningkatkan pengembangan profesional guru, serta memberikan persamaan kesempatan belajar,terutama bagi sekolah.sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang jauh dari Standar Nasional Pendidikan.
Ketujuh, harus ada tindakan tegas berupa pidana dalam menyelesaikan berbagai korupsi pcndidikan. kalau korupsi pendidikan tidak ditindak tegas maka upaya mcwujudkan Pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di ncgeri ini tidak akan pernah tercapai.