SETELAH pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran pada 12 April 2012 lalu, ternyata belum ada perubahan berarti yang dirasakan para buruh migran. Koalisi Peringatan Aksi Buruh Migran Internasional 2013 (Koper Bumi) pun menuduh pemerintah tidak serius dalam memperhatikan para buruh migran di luar negeri.
“Kami ini hanya dijadikan sapi perahan saja untuk menghasilkan devisa negara,” ujar Juru Bicara Koper Bumi, Iweng Karsiwen kepada kabar3 saat ditemui setelah acara koferensi pers di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponogoro, Jakarta Pusat, Selasa (17/12).
Iweng menjelaskan, pemerintah yang seharusnya menciptakan Undang-undang (UU) perlindungan buruh migran berpedoman pada prinsip konvensi PBB 1990, namun justru merevisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri (UUPPTKLN) No. 39 Tahun 2004. “Dengan prioritas penempatan, untuk menghasilkan lebih banyak devisa,” ujarnya sembari menggelengkan kepala.
Iweng pun memaparkan, sejak pemerintahan SBY, peningkatan drastis terjadi dalam hal pengiriman TKI. “Sekitar 700 ribu per tahun, dengan menghasilkan devisa sekitar Rp100 triliun,” kata dia. Namun, lanjut perwakilan dari Asosiasi Buruh Migran Indonesia yang berbasis di Hongkong ini, pemerintah belum merasa cukup sehingga UU PPTKILN No 39 tahun 2004 diubah guna menghapus hambatan yang menghalangi percepatan pengiriman tenaga kerja.
“Target pemerintah 1-2 juta per tahun, agar menghasilkan devisa sebesar Rp125 triliun,” kata dia dengan nada meninggi.
Namun, pemerintah Indonesia tidak memberikan perlindungan yang baik terhadap buruh. Padahal buruh migran telah banyak memberikan devisa bagi negara.
Untuk itu, ia bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Koper BUMI menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat khusunya Komisi IX, mencabut UU PPTKILN dan menggantinya dengan UU perlindungan yang berpedoman pada konvensi PBB 1990.